Era posmodernisme telah menggilas semua bentuk nilai. Jangankan nilai dan etika, agama dan seperangkatnya pun tak dibutuhkan. Karena itu pula ketika Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi diusulkan menjadi peraturan bermasyarakat mereka sontak menghujat dan menolaknya.
Demikian pula ketika sejumlah aliran sesat bermunculan, kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa tentang kesesatan akidah mereka, maka sejurus kemudian mereka menuding fatwa MUI bertentangan dengan kebebasan beragama. Ironisnya lagi mereka juga menuding para ulama MUI sebagai ulama tolol.
Para penganut posmodernisme memang anti ilmu dan kebenaran. Karena itu mereka menolak otoritas ulama (ilmuan). Mereka menganggap ulama sebagai biang carut-marut kehidupan.
Lahirnya era postmodernisme sendiri akibat ketidakmampuan kaum Barat menjawab tantangan dan nilai modernisme, yang sejak awal memang menegasikan Allah sebagai sumber segala sesuatu (Allah Al-Shamd). Wajar saja jika di kemudian hari Barat dan pengikutnya mengalami kepincangan dan kebutaan nilai kehidupan.
Mengenai hal ini, cendikiawan Muslim asal Palestina, Ismail Raji al-Faruqi, menyatakan, “Para ilmuan Barat menolak Tuhan dan mengusir-Nya dari alam, disebabkan oleh kebencian mereka kepada Gereja Kristen dan kewenangan palsu yang telah dipaksakan Gereja terhadap dirinya sendiri berkaitan dengan seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman. ” (Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid: Its Implications for Thought and Life, 1982).
Reaksi radikal ilmuan Barat itu mengkristal dan muncul akibat dominasi Geraja yang kaku dan dogmatis. “Sejalan dengan hal itu, hampir seribu tahun ilmu pengetahuan di Barat tidak berkembang, ” sambung al-Faruqi.
Dengan cara itulah mereka mengaku bebas melakukn ekspresi di bidang logika, fisika, seni, filsat, bahasa, teknologi, kepercayaan, ideologi, tindakan dan lainnya. Cara pandangan dan hidup demikian, menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, tidak ada bedanya dengan perikehidupan binatang. “Mereka hanya cukup puas dengan kehidupan dan kebutuhan biologis, ” tulis Al-Ghazali. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din).
Mengenai hal ini, peringatan Allah dalam surah Al-A’raf: 179, perlu kita camkan. Pada ayat itu disebutkan, bahwa mereka yang mempelajari ayat-ayat Allah tapi mereka jauh dari petunjuk-Nya. “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itu adalah orang-orang yang lain. ”
Untuk mensukseskan agendanya, para pemikir Barat dan muridnya bergerak dan melancarkan aksinya di dunia Muslim. Proyek pertama yang mereka lakukan tidak lagi menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah negara-negara Muslim, tapi mereka mendirikan kajian-kajian keIslaman (Islamic Studies) sesuai dengan framework dan pandangan hidup (wordlview) mereka.
Sukses agenda pertama, mereka lalu memberikan beasiswa besar-besaran kepada para calon murid untuk studi strata dua (S2/magister ) dan strata tiga (S3/doktor) di tempat mereka. Menjelang membuat tesis dan disertasi, mereka diarahkan oleh para gurunya (orientalis) untuk mengikuti jejak mereka dalam memahami Islam.
Setelah para murid itu kembali ‘mencari’ ilmu di negeri kampung masing-masing, aliansi merusak Islam tak berhenti di situ saja. Para alumni didikan orientalis itu diminta dan didorong mendirikan lembaga penelitian, pesantren, lembaga swadaya masyarakat (LSM), penerbitan, dan lainnya, untuk melanjutkan dan menyebarkan ‘ilmu’ yang selama ini mereka peroleh kepada masyarakat Muslim.
Bantuan dana untuk kegiatan ini terhitung berlimpah. Sebut saja, saat ini ada LSM yang bergerak di bidang isu gender dan plularisme mendapat dana dari The Ford Foundation senilai Rp 10 miliar. Dana itu akan dialokasikan untuk pendidikan Paket A, B, dan C bagi masyarakat Indonesia tentang wacana gender dan pluralisme sesuai keinginan penyandang dana.
Sudah puluhan tahun mereka merintis lembaga-lembaga itu untuk merusak ilmu-ilmu Islam, dan kini hasilnya banyak murid asuhan mereka yang berpikir dan berkepribadian sama seperti mereka, para orientalis. Bahkan tak jarang para murid itu lebih orientalis.
* * *
Sayangnya, akhir-akhir ini kita mendengar banyak perguruan tinggi didirikan. Tapi, tak banyak kita mendengar mereka berniat dan mendesain kampusnya sebagai lembaga pendidikan yang mengarahkan dan mengajak civitas kampus untuk menjadi manusia yang taat kepada Rabbnya. Karena itu tidak aneh jika banyak muncul sarjana Muslim, tapi mereka tidak mengetahui identitas dan kewajibannya sebagai schollars Muslim.
Di sisi lain, dan ini sangat memprihatinkan dan menyedihkan, para alumni pesantren yang terbawa arus dan tergerus ilmunya di saat mereka menjejaki dunia perguruan tinggi.
Tak sedikit di antara mereka yang menghalalkan meninggalkan shalat wajib, banyak di antara mereka yang lebih senang mengembangkan dan menikmati seni sastra Barat dibanding dengan seni dan karya sastra Islam. Selanjutnya, mereka pun lebih nyaman hidup permisif daripada harus berhati-hati. Mereka ini lebih berbahaya dari binatang buas dan mengancam kehidupan dan isinya. (dina)