Menurut Bestari, cicilan Rp 2,5 juta per bulan akan menyulitkan bagi warga dengan pendapatan Rp 7 juta. Selain cicilan rumah, mereka masih harus membayar biaya listrik, perawatan gedung dan fasilitas publik, dan pengeluaran lain yang diperkirakan mencapai Rp 1 juta.
Sisa Rp 3,5 juta akan sulit digunakan untuk memenuhi biaya pendidikan anak, transportasi, dan sebagainya. “Ini kan masalah baru yang mau ditimbulkan. Kalau Rp 5 juta aja gimana bisa? Rp 7 juta aja sudah berat. Gitu lho,” kata dia.
Ia juga mempermasalahkan penggunaan istilah Rumah DP 0 yang dianggap tidak menggambarkan aktivitas pengeluaran yang akan dilakukan dalam program tersebut. Menurut dia, ini perlu diperjelas.
“Program DP 0. Ini apa? Kalau lu mau beli tanah bilang beli tanah. Nanti saya mau DP 0, berarti kan mau beli tanah. Beli tanah, beli tanah. Judulnya pembelian tanah untuk pembangunan rusun. Itu programnya. Jangan disulap jadi Program DP 0,” kata dia. (kl/gr)