Prof. Dr. Syafi’i Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, sering dipanggil ‘Buya’, sebuah panggilan akrab, sekaligus mengandung penghormatan, sebagai orang sangat dihormati, terutama dikalangan masyarakat Minang. Kemarin, menulis artikel opini, yang memberikan kejelasan tentang karakter para politisi Idonesia, menurut beliau, tak lebih karakternya seperti kerak. Kerak nasi, yang keras-keras, tapi disiram dengan air sedikit, sudah menjadi lembek. (Republika, 27/5/2009)
Buya Syafi’i memberikan penilaian terhadap para politisi, khususnya para politisi Islam, yang karakternya mirip dengan kerak. Tidak memiliki integritas, komitmen, sikap dan pendirian yang teguh, mudah berubah-berubah dalam hitungan menit, suka berkompromi dengan kebathilan demi kepentingan kekuasaan, mengejar kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, tidak beretika dalam berpolitik, memanipulasi agama dengan seenaknya, tanpa merasa bersalah, tidak berpihak kepada al-haq, sangat oportunistik, dan tidak berpihak kepada kepentingan umat dan rakyat, rakus dan tamak, dan hidupnya hanyalah mengabdi kepada tiga ‘ta’ (tahta, harta, dan wanita). Itulah kalau dapat disimpulkan dari pandangan Buya Syafi’i, yang sangat prihatin melihat perilaku politisi, khususnya politisi Islam.
Tentu, yang bingung bukan hanya Buya Syafi’i saja, tapi juga umat sangat bingung, karena sulit untuk menyimpulkan dan mensikapi pandangan-pandangan dan arah dari para politisi Islam. Karena selalu berubah-ubah, dan tak tentu arahnya. Mantan pimpinan Muhammadiyah, yang dikenal dengan ‘urang awak’, dan memiliki pandangan yang sangat moderat itupun, sudah jengkel, melihat karakter para polisiti Islam, sampai mengatakan mereka itu adalah ‘kerak’. Kejengkelan ini muncul tak lama usai pemilu 2009, dan penghitungan suara belum selesai, para politisi Islam sudah sibuk membicarakan soal, apalagi kalau bukan yang berkaitan dengan ‘ta’ (tahta, harta, dan wanita). Tapi, kali ini yang sibuk dibicarakan, ‘ta’ yang pertama yaitu ‘tahta’, yang wujudnya adalah koalisi.
Pemilu hasilnya belum diumumkan oleh KPU, para pimpinan partai politik, khususnya partai Islam, sudah sibuk dan memutar otak, bagaimana mendapatkan ‘ta’ pertama yaitu ‘tahta’, dan mereka berduyun-duyun mendatangi ‘Istana’ Cikeas, dan mendaftarkan diri menjadi gerbong yang nantinya ditarik oleh lokomotif, dan masinisnya tak lain, Presiden SBY, yang telah diusung Demokrat untuk maju menjadi calon presiden. Mereka datang ke ‘Istana’ Cikeas, tak lain ingin menyatakan sebuah janji kesetiaan, janji ketaatan, dan janji segala janji kepada Demokrat dan Presiden SBY, selaku lokomotif. Lokomotif yang mereka anggap paling nyaman, dan yakin tidak akan mogok, nantinya di tengah jalan, dan akan menang.
Bagi Buya Syafi’i Maarif, yang usianya sudah lebih dari 70 tahun lebih, dan sudah makan asam garam, dan segala pengalaman sudah dijalaninya, tetap saja bingung, terutama ketika melihat perilaku para politisi di zaman kuda doyan ‘burger’ ini. Kenapa, menurut Buya, karakter para politisi, yang sama sekali tidak memiliki etika sedikitpun dalam bab urusan politik, dan seperti sangat mudah, memutar haluan, atau berubah sikap. Partai-partai Islam yang dahulunya, sudah menyatakan janji setia dan mendukung habis,sampai boleh dibilang ‘forever’ alias selama-lamanya kepada SBY, tiba-tiba seperti ‘pantatnya’ terkena sengatan listrik tegangan tinggi, dan semuanya berteriak, ketika Presiden SBY mengumumkan pilihannya, yang dipilih menjadi cawapres adalah Gubernur BI, Prof.Dr.Boediono. Bahkan, ada partai yang terang-terangan menolak, di media cetak dan elektronik,pengurusnya tak terima atas pilihan Presiden SBY yang memilih Boediono.
Tapi, memang dasarnya politisi ‘kerak’, dan benar-benar karakternya ‘kerak’, yang pekerjaannya hanyalah berebut tulang-tulang kekuasaan, maka ketika para politisi ‘kerak’, yang teriak-teriak, seperti orang kesurupan itu, disiram dengan air sedikit saja, mereka sudah menjadi lembek, dan suaranya yang nyaring mengkrtik dan disertai ancaman, akhirnya hilang bersama dengan angin kekuasaan. Karena, sekerat tulang kekuasaan yang bernama ‘tahta’, yang dijanjikan sudah cukup menjinakkan mereka. Kemudian, tak ada lagi suara ‘dissent’ (menentang) yang terdengar. Tentu, Presiden SBY dan Boediono, tersenyum-simpul melihat perilaku mereka.
Sekarang, menjelang pilpres, tiba-tiba muncul hak angket di DPR, menyelidiki berbagai kecurangan dan penyimpangan, pemilu lalu. Hak angket (penyelidikan) diputuskan oleh Paripurna DPR, yang akan melakukan penyelidikan, khususnya terhadap DPT (Daftar Pemiih Tetap). Hak angket didukung oleh Golkar (34), PDIP (58), PKB (16), PPP (11), PAN (3), BPD (5), dan PDS (1), totalnya yang menolak sebanyak 129 suara.
Sedangkan yang menolak hak angket, adalah PD (43), PKS (22), dan PDS (2), jumlah yang menolak 73 suara. Tentu, yang menjadi persoalan PD, karena diantara yang menginginkan hak angket itu, terdapat partai-partai yang menjadi mitra koalisi pemerintah, yang oleh PD disebut sebagai tindakan ‘tidak elok’. Tapi, apakah masih berguna yang namanya koalisi itu, kenyataannya, seperti Golkar dengan Demokrat sudah tidak ada ikatan apa-apa, sudah pisah ranjang, sejak Presiden SBY memilih Boediono, dan menceraikan JK, yang ketua umum Golkar?
Di sini posisi PKS, yang sangat setia ‘abis’ dengan Demokrat dan SBY, tidak mau mendukung hak angket, yang dilakukan anggota fraksi lainnya, padahal tujuannya untuk melakukan penyelidikan terhadap kecurangan yang mungkin terjadi di pemilu 2009 lalu. Jangan sampai terulang di pilpres nanti. PKS seharusnya ‘taawanu alal birri wat taqwa, bukan taawanu alal isymi wal udwan’.
Masih lebih baik kalau sekedar menjadi politisi ‘kerak nasi’, daripada nantinya menjadi politisi ‘kerak neraka’, dan ini mudah-mudahan dipahami para politisi. Hidup di dunia, tidak lama, bung!. Wallahu ‘alam.