Eramuslim.com – Entah apa maksudnya. Gubernur DKI Jakarta Ahok mengatakan, dana hibah yang digelontorkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 32 miliar pada tahun 2015 kepada Polda Metro Jaya bukan sesuatu yang fantastis. Malah, katanya, dirinya berencana menambah dana hibah untuk Polda Metro Jaya.
Rencananya, hibah tersebut akan digunakan untuk pembangunan pusat kendali CCTV di Mapolda Metro Jaya, kemudian membangun pusat pemantauan CCTV hingga ke sub-sektor. Selain itu, uang hibah tersebut pun akan digunakan untuk membangun Kantor Mapolres Jakarta Pusat dan lainnya. “Kita nanti mau kasih setengah triliun rupiah, kok. Kita juga mau bangunin kantor besar di Kemayoran. Pokoknya, patokannya kalau masih di bawah harga UPS masih murah,” tutur Ahok di Balai Kota, Rabu (29/7).
Pada Rabu pagi sampai petang, sekitar lima jam, Ahok telah diperiksa sebagai saksi oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri untuk kasus dugaan korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) di sejumlah sekolah di DKI Jakarta.
Kalau penyidik Bareskrim Polri dan juga kepalanya, Komisaris Jenderal Budi Waseso, memang tidak buta mata hatinya dan benar-benar mencintai negeri ini, penyidik Bareskrim Polri pastilah akan kembali memanggil Ahok untuk diperiksa terkait dugaan penistaan atas lembaga negara Badan Pemeriksaaan Keuangan (BPK) yang telah memberi rapor jeblok atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bukan hanya jeblok, laporan BPK juga menemukan sejumlah kejanggalan yang berindikasi merugikan keuangan daerah dan berpotensi merugikan keuangan daerah, yang nilainya sangat dahsyat: mencapai triliunan rupiah.
Menurut pakar hukum pidana yang merupakan konseptor Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Romli Atmasasmita tudingan Ahok kepada BPK itu sangat serius. Karena itu, menurut Romli, Ahok bisa dijerat dengan pasal pidana, karena BPK merupakan lembaga tinggi negara dan BPK merupakan lembaga satu-satunya berdasarkan konstitusi dan undang-undang yang berwewenang mengaudit kementerian/lembaga negara.
Diungkapkan Romli, pernyataan-pernyataan Ahok di media terhadap BPK merupakan penistaan terhadap lembaga negara karena mereka bertugas atas mandat UUD dan undang-undang.
“Yang ganjil, BPK RI, lembaga tinggi negara sejajar dgn presiden, MPR, dan DPR, bisa-bisanya ‘disemprot’ seorang gubernur! BPK RI satu-satunya berdasarkan konstitusi dan undang-undang yang berwenang audit kementerian/lembaga negara, kok, bisa dipandang tidak kredibel di mata seorang gubernur! Jika tidak KPK, Kejaksaan Agung harus masuk melakukan penyelidikan dan penyidikan karena terkait dana-dana APBD dan Undang-Undang Keuangan Negara dan indikasi tipikor. Pernyataan-pernyataan Gubernur DKI di media terhdp BPK RI merupakan penistaan terhadap lembaga negara karena mereka bertugas atas mandat UUD 1945 dan undang-undang. Penistaan terhadap lembaga negara dapat diancam pidana, sesuai KUHP,” tulis Romli lewat akun Twitter-nya, 13 Juli lalu.
Sebelumnya, seperti telah banyak diberitakan, Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 mendapat opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) dari BPK. Pasalnya, BPK mendapatkan 70 temuan senilai Rp 2,16 triliun yang berindikasi merugikan daerah dan berpotensi merugikan daerah. Program yang berindikasi merugikan daerah senilai Rp 442 miliar dan yang berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp 1,71 triliun.
BPK juga menemukan kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. Juga ada beberapa temuan yang disorot BPK dan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta. Temuan itu adalah aset seluas 30,88 hektare di Mangga Dua dengan PT DP yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan aset. Selain itu, pembelian ngadaan tanah Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta Barat tidak melewati proses pengadaan memadai. “Ada indikasi kerugian senilai Rp 191 miliar,” kata anggota BPK, Moermahadi Soeja Djanegara.
Bukan hanya itu. BPK juga menemukan Pemprov DKI mengalami kelebihan bayar biaya premi asuransi senilai Rp 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp 3,05 miliar. Temuan lain dari BPK yang perlu diwaspadai Pemprov DKI adalah penyertaan modal dan aset ke PT Transportasi Jakarta yang tak sesuai ketentuan. Ini menyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluas 234 meter persegi, dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah.
Tapi, yang kemudian dipersoalkan Ahok bukannya audit BPK yang menyangkut uang rakyat yang sangat besar nilainya itu, tapi malah soal pertanyaan auditor BPK terkait uang operasional dan uang makannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Saya mau tanya operasional menteri-menteri diperiksa sampai uang cabai dan beras enggak?” katanya.
Ia juga malah meminta anggota BPK melakukan pembuktian harta terbalik berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Ratifikasi PBB Melawan Korupsi. Dalam peraturan itu disebutkan, jika harta seorang pejabat publik tidak sesuai dengan biaya hidup dan pajak yang dibayar, maka hartanya akan disita negara, dan dia dinyatakan sebagai seorang koruptor. “Saya mau nantang semua pejabat di BPK yang ada, bila perlu buktikan pajak yang kalian bayar, harta kalian berapa. Biaya hidup kalian, anak-anak Anda kuliah di mana? Kalau enggak bisa buktikan, enggak boleh jadi anggota BPK, enggak boleh periksa orang karena kalian bisa ada unsur masalah,” tutur Ahok.
Menurut Romli, KPK, Kejagung, Bareskrim harus segera sidik kerugian negara dengan nilai Rp 7 triliun dari APBD Pemda DKI. “Jika tidak, jelas diskriminatif! Perbedaan suap dan korupsi menurut Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor: suap tidak ada unsur kerugian negara; dalam korupsi, unsur menentukan. Kasus di Sumut jelas suap. Saya katakan diskriminatif karena gubernur-gubernur lain sudah ditetapkan tersangka ketika ditemukan unsur kerugian negara dan masuk ranah Undang-Undang Tipikor. Gubernur Bengkulu tersangka karena negara rugi Rp 365 juta; di Pemda DKI, negara rugi Rp 7 trilun menurut BPK, aneh, tidak ada langkah konkret!” kata Romli lewat akun Twitter-nya, 15 Juli lalu.
Rencananya, kerugian negara itu akan dikembalikan oleh Bendaharawan Pemda DKI Jakarta. Memang, kata Romli lagi, menurut Undang-Undang Nomor 15/2004 junctoUndang-Undang Nomor 5/2004, kerugian dapat dikembalikan. Tapi, lanjut Romli lagi, menurut Pasal 4 Undang-Undang Tipikor, “mengembalikan kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan”. Lagi pula, dari mana Pemda DKI punya uang sebesar itu untuk mengembalikan kerugian negara tersebut?
Akankah Komisaris Jenderal Budi Waseso lantas menjadi tak enak hati dan akhirnya tidak berani memeriksa Ahok lantaran sejawatnya di Polda Metro Jaya mendapat “hadiah” dari Pemprov DKI Jakarta yang kini dipimpin Ahok dan sebelumnya juga sejawatnya di Polres Jakarta Utara “diberi” pos polisi di kawasan Waduk Pluit sewaktu Jakarta dibawah Gubernur Joko? Sebagai anak dari ayahnya yang purnawirawan perwira TNI, apakah Budi Waseso juga akan semakin tidak enak hati karena Pemprov DKI Jakarta di bawah Ahok juga telah memberi “hadiah” kepada para anggota TNI baru-baru ini?
“Mudah-mudahan saja tidak. Mudah-mudahan saja Komjen Budi Waseso menyadari bahwa dirinya sekarang ini menjadi salah satu tokoh kunci yang akan kembali membawa kejayaan bagi bangsa ini. Karena, menurut saya, kejayaan bangsa ini baru akan bisa tumbuh perlahan bila hukum dijalankan dengan benar. Dan, Budi Waseso sebagai hamba hukum sekarang ini sudah berada di track yang benar. Apalagi, setahu saya, dia itu orang yang sangat sederhana dan hidupnya tidak neko-neko, sehingga pernah menjadi kepala polres paling miskin. Saya kira juga, kenapa dia beberapa waktu lalu terkesan enggan melaporkan kekayaannya ke KPK, dia takut publik terkejut atau malah tidak percaya kalau ternyata harta kekayaannya sebagai perwira tinggi polisi, jenderal, tidak seperti diduga banyak orang. Coba saja tanya ke KPK ke PPATK. Lagi pula, sebagai perwira, rekening tabungan Budi Waseso adalah rekening ‘terbuka’, artinya bisa dicek kapan saja oleh yang berwewenang, KPK dan PPATK. Selain itu, seperti saya pernah baca diPribuminews.com, Budi Waseso juga telah menyiapkan lahan untuk makamnya sendiri, sementara sampai sekarang dia belum punya rumah pribadi. Jadi, masa orang yang hidupnya sejak kecil sampai menjadi jenderal banyak dibiayai negara seperti Budi Waseso takut memeriksa Ahok terkait laporan BPK itu? Bahkan, dia pernah menangkap Kepala Bareskrim Polri, Komjen Susno Duadji, kan?” kata pengamat politik Zoon Politikon, Fahmi Andriansyah, ketika diminta tanggapannya, Rabu malam.(rz/pribuminews)