Kelompok Komisi (Poksi) VII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) sepakat menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL), yang angkanya mengejutkan banyak kalangan, termasuk anggota dewan. Dalam simulasinya pemerintah merencanakan kenaikan 83% hingga 90% untuk perumahan, sedangkan untuk beberapa jenis industri kenaikannya bisa mencapai 100%.
"Sebagai wakil rakyat, kami menolak kenaikan itu. Dan kami meminta pemerintah mengaudit biaya pokok penyediaan yang diajukan PLN" tegas juru bicara Poksi VII FPKS, Ami Taher, Senin (23/1) di Jakarta.
Alasan penolakan Poksi VII yang paling mendasar adalah data yang diajukan PLN untuk meminta kenaikan itu meragukan, khususnya Biaya Pokok Penyediaan (BPP), yang merupakan salah satu parameter menentukan (TDL). Ami Taher mengatakan, saat ini sejumlah kasus korupsi besar dalam tubuh PLN yang sedang disidik Kejaksaan dan KPK. Mulai dari manipulasi kontrak, sampai proyek mubazir seperti di PLTD Payo Selincah dan Batanghari yang nilainya cukup besar.
"Proyek-proyek tersebut menjadi salah satu penyebab tingginya BPP listrik" jelas Ami. Menurut Ami, audit terhadap BPP Listrik adalah hal yang mendesak. Dalam rapat dengar pendapat antara PLN dengan Komisi VII DPR-RI, PLN mengeluarkan data yang selalu berubah-ubanh. Terkadang harga BPP 841/kwh, kadang 919/kwh. "Kemudian perhitungan BPP juga harus disesuaikan dengan kondisi saat ini, mengingat harga BBM untuk industri sudah turun dari Rp 6000 ke Rp5.000. Kurs dolar pun turun dari Rp9.900 (harga patokan PLN) ke Rp 9.300/dolar," jelas Ami.
Ami mengungkapkan, tarif yang dipatok PLN saat ini sudah merupakan tarif kedua termahal di Asia Tenggara di bawah Filipina. Apalagi jika PLN menaikkan TDL hingga 100%. "Kenaikan akan menyebabkan rakyat makin sengsara, dunia industri kolaps, pengangguran bertambah, dan usaha masyarakat akan lesu. Pemerintah harus benar-benar cermat dan hati-hati dalam memutuskan rencana kenaikan listrik ini, karena listrik merupakan hajat hidup orang banyak," tambah Ami. (Travel)