Mantan Presiden Partai Keadilan Hidayat Nurwahid dan Presiden PKS Tifatul Sembiring meminta penjelasan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan aliran dana non-budgeter yang masuk ke partai mereka.
Presiden PKS Tifatul Sembiring menegaskan, partainya sepenuhnyamendukung upaya KPK untuk mengungkap dan menghukum koruptor, serta memberikan dukungan secara langsung, agar KPK lebih berani, lebih tegas, lebih keras, terutama untuk menangkap koruptor kakap.
"Kami mendukung upaya pemberantasan korupsi, jika ada kader PKS yang terlibat, adili saja, beri punishment, namun harus melalui prosedur hukum yang berlaku, bukan sekedar hanya rumor-rumor, atau bahan yang belum jelas validitasnya, sebab itu bisa menimbulkan fitnah, dan jauh dari pada niat pemberantasan korupsi, " ujarnya saat jumpa pers usai mengadakan pertemuan tertutup dengan pimpinan KPK, di Kantor KPK, Jakarta, Rabu (30/5).
Menurutnya, partai yang dipimpinnya sangat setuju jika kasus aliran dana non budgeter DKP ini diselesaikan melalui prosedur hukum, dan bukan melalui jalur politik.
"PKS setuju kasus dana DKP ini diselesaikan melalui proses hukum, tidak dibawa ke ranah politik, sebab nanti bisa mementahkan kasus hukumnya sendiri, " imbuhnya.
Terkait dengan dugaan keterlibatan partainya yang dituding menerima dana DKP, Tifatul menyatakan bahwa pihaknya sudah menanyakan kebenaran data tersebut kepada KPK, dan pimpinan KPK menyatakan bahwa tidak pernah mengeluarkan daftar seperti yang beredar di masyarakat.
Dalam pertemuan itu, Tifatul dan Hidayat juga menyertakan tiga buku laporan yang sudah diaudit oleh KPU, di mana penerimaan dana yang dimaksud tidak tercantum dalam laporan itu. Dan mengenai keterlibatan Anggota DPR FPKS Fachry Hamzah, Tifatul juga mencoba mengklarifikasi statusnya kepada KPK, meski demikian pihaknya telah berkomitmen untuk mengembalikan dana yang diterima oleh kadernya, walaupun ketika menerima belum menjabat sebagai anggota DPR.
Senada dengan itu, Mantan Presiden Partai Keadilan yang juga Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid juga mempermasalahkan validitas data yang beredar dimasyarakat, dan keakuratan pencantuman nama partainya dalam berita acara di persidangan.
"Apa yang dibacakan dalam berita acara Rokhmin tidak menyebut PKS menerima 300 juta rupiah. Yang selalu disebut PKS, terkait dengan nama orang, bukan partai secara institusional. Kemudian, setelah menerima laporan pembukuan partai tahun 2003-2004 tidak seperti yang muncul belakangan ini, " jelasnya.
Hidayat menambahkan, agar kasus ini tidak terulang lagi, dirinya meminta KPK dapat memberikan masukan yang kuat kepada DPR untuk penyempurnaan UU Pilpres dan Pemilu.(novel)