Dinamika politik di Indonesia semakin penuh gejolak. Terutama terkait pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY yang didukung partai-partai politik melalui koalisi, seperti Golkar, Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB, terus mengalami kontraksi.
Sekalipun, koalisi itu sudah diwadahi dalam Setgab (Sekrateriat gabungan) yang dipimpin Presiden SBY dan sekretarisnya Aburizal Bakri, tetapi tidak menghentikan adanya dinamika politik. Partai-partai politik tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh Presiden SBY dan Partai Demokrat. Sehingga, dipandang menganggu soliditas dan stabilitas politik.
Oleh karena itu, akibat dinamika politik termasuk dengan dua isu besar, kasus bail out Bank Century dan Pajak, akhirnya menimbulkan kontraksi yang lebih hebat lagi, dan diujungnya Presiden SBY, rencananya akan melangsungkan perombakan kabinet.
Dorongan melakukan perombakan kabinet itu semakin kuat dari dalam Partai Demkrot, dan keinginan Presiden untuk mengubah mitra koalisi dengan memasukkan partai baru, yang dipandang lebih loyal.
Politik di Indonesia sekarang ini, ibaratnya seperti bayi mau lahir, seorang ibu mengalami kontraksi, yang mempunyai dampak pada si ibu. Apapun pilihan dan tindakan politik yang akan dilakukan Presiden SBY pasti akan mempunyai pengaruh dalam spektrum politik nasional.
Jika Presiden merombak kabinetnya, tentu ada diantara gerbong-gerbong koalisi itu akan ada yang ‘diamputansi’ oleh Presiden SBY. Siapa diantara ‘gerbong’ yang diamputansi itu?
Setidaknya ada dua partai politik yang selalu menjadi ‘head line’ media massa, yang dinilai berseberangan sikapnya dengan pemerintah sebagai anggota koalisi. Yaitu Golkar dan PKS.
Presiden SBY sudah memanggil sejumlah pimpinan partai politik di Wisma Negara, membahas kemungkinan keputusan Presiden SBY, yang akan diambil untuk merombak kabinet.
Sementara itu, menjelang reshuffle (pergantian) Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq, secara mendadak, memboyong jajaran Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS ke kediaman Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin, di Lembang, Bandung, Jawa Barat, Kamis (3/3/2011) malam.
Wasekjen DPP PKS Mahfudz Siddiq menceritakan kedatangan rombongan DPP PKS sangat mengejutkan Hilmi. Presiden PKS meminta rapat khusus membahas perkembangan koalisi pasca pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal koalisi, Selasa (1/3/2011).
"Kebijakan koalisi adalah keputusan majelis syuro yang dipimpin Ustad Hilmi," ujar Mahfudz, Jumat (4/3/2011).
Mahfudz menambahkan, dalam rapat, Presiden PKS memaparkan tiga dokumen koalisi, yaitu piagam koalisi, agenda koalisi, dan code of conduct. Kesimpulan paparan dan pembahasan, secara substansi, sikap-sikap politik PKS tidak ada yang bertabrakan dengan ketiga dokumen tersebut.
"Secara teknis prosedural juga bisa diperdebatkan karena terakhir soal angket mafia pajak, Setgab belum sampai pada kesepakatan," tambahnya.
Selain itu, dalam rapat DPP PKS dengan Ketua Majelis Syuro PKS, hampir semua peserta menegaskan bahwa kebijakan koalisi adalah hal sangat penting karena diputuskan oleh majelis syuro. Dan komunikasi kesepakatan ini dilakukan langsung antara Hilmi dengan SBY, baik di 2004 maupun 2009.
"Maka jika SBY akan memformat ulang koalisi, harus dilakukan melalui komunikasi langsung Presiden SBY dengan Ketua Majelis Syuro PKS. Jika hanya melalui kurir atau surat, adalah cara tidak etis dan tidak gentle", ucap Mahfudz
Namun, sampai sejauh ini Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin belum diajak bicara langsung oleh Presiden SBY, menjelang reshuffle.
Padahal, di bulan Juni 2010, saat berlangsung Munas di Hotel Ritz Carlton, yang dihadiri oleh Presiden SBY dan Ibu Ani, di tengah-tengah kalayak kadernya, Ketua Majelis Syuro Hilmi Aminuddin dengan sangat jelas mentasbihkan dukungannya kepada Presiden SBY sampai tahun 2014.
Dalam sambutannya di depan Presiden, Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin menyatakan, "Kebersamaan kami dalam koalisi bersama Bapak Presiden SBY, bukan taktik dan strategis, tetapi iman dan aqidah kami", tegasnya.
Tetapi, jika sekarang menteri-menteri PKS menghadapi reshuffle, padahal PKS selalu menyatakan dirinya sebagai ‘back bone’ (tulang punggung) Presiden SBY, dan reshuffle itu akan menggusur menteri-menteri PKS dari kabinet, lalu di mana posisi PKS sebagai ‘back bone’ pemerintahan SBY yang selama ini didengung-dengungkan para pemimpinnya?
Situasi politik di Indonesia penuh dengan dinamika. Apakah dengan melakukan reshuffle itu akan menjamin pemerintahan SBY stabil dan efektif?
Wakil Presiden Boediono, waktu melakukan kunjungan ke Beijing, menyatakan pemerintahan yang jatuh bangun, hanya akan melahirkan instabilitas, dan akan kehilangan kepercayaan rakyat. (mhn)