Setidaknya ada dua hal yang menarik sekarang, yang dilakoni oleh PKS, yang merupakan "back bone" (tulangpunggung) dalam koalisi pemerintahan Presiden SBY. PKS secara terus-menerus, sejak tahun 2004, merupakan pilar utama SBY.
Bahkan, belum lama ketika menyelenggarakan Munas di Hotel Rizt Carlton, yang dihadiri oleh Presiden, bulan Juni 2010, dan di depan Presiden SBY, sangat nampak dengan jelas Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin mentasbihkan dukungannya kepada SBY, sampai tahun 2014. "Dukungan kami kepada Bapak SBY dalam koalisi, bukanlah taktik dan stategi politik, tetapi merupakan iman dan aqidah", tegas Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin.
Tetapi, baru setahun koalisi dengan pemerintahan SBY, PKS sudah mulai nampak ragu terhadap masa depan koalisi, dan dukungannya terhadap Presiden. Keragu-raguan yang kemudian berimplikasi terhadap sikap yang diambil oleh PKS, khususnya di parlemen.
Setidaknya ada dua kasus yang menunjukkan bahwa PKS sebagai mitra koalisi tidak lagi mendukung pemerintah, dan tidak sejalan dengan SBY dan Partai Demokrat, yang merupakan ‘owner’ (pemilik) koalisi sekarang.
Pertama, terkait kasus bail out Bank Century, di mana saat kasus itu diputuskan oleh paripurna DPR, PKS memilih opsi C, yang secara eksplisit menyebutkan sejumlah pejabat yang melakukan pelanggaran hukum. Sementara, partai-partai mitra koalisi menolak, menyebutkan adanya keterlibatan para pejabat yang terkait dengan bail out Bank Century. Meskipun, kasusnya sendiri tidak ditindaklanjuti dan diproses secara hukum, sesudah Sri Mulyani mengundurkan diri sebagai menteri keuangan.
Dalam kasus rencana membuat Pansus Pajak, lagi-lagi PKS sebagai mitra koalisi pemerintah SBY, tidak sejalan dan berbeda sikap. PKS bersama dengan Golkar menginginkan dibentuknya Pansus untuk menyelidiki dan membongkar mafia pajak. Meskipun, dalam voting akhirnya gagal memenangkan, dan gagal terbentuk Pansus di DPR.
Ini merupakan gambaran baru, bahwa PKS sudah mulai ingin lebih mementingkan masa depan partainya, yang belakangan sudah kurang bisa lagi ‘menjual’ di mata masyarakat.
Sangat logis, bila sekarang PKS terkesan ingin mengambil jarak dengan SBY, karena selama dua kali memerintah, Presiden SBY prestasinya tidak ada yang menonjol, bahkan SBY sudah mengakui pemerintahannya mengalami kegagalan.
Selain itu, SBY belakangan ini dukungan politiknya semakin melemah, dan tingkat kepuasan rakyat semakin rendah. Ini dapat dilihat dari berbagai hasil polling yang dilakukan berbagai media dan lembaga polling, yang menunjukkan terus menurunnya dukungan dan populeritas SBY. Maka, sudah tidak mungkin lagi PKS akan menggantungkan hidupnya kepada SBY, sebagai patron politiknya.
Tetap dalam koalisi dengan SBY yang sudah habis dan terpuruk itu, maka sama dengan memasukkan PKS ke dalam ‘tong sampah’, maka sekarang buru-buru PKS menarik diri, dan itu dicerminkan dalam beberapa kasus, yang belakangan ini diwujudkan di parlemen.
Jadi, PKS ingin membangun sebuah citra baru, yang tujuannya melakukan kapitalisasi dukungan untuk pemilu tahun 2014, dan mengambil jarak dengan pemerintah, yang sudah tidak ‘credible’, dan memposisikan sebagai kekuatan baru dalam politik dengan jargon "bekerja", yang terus digelorakan dengan "bekerja untuk Indonesia ibadah", di mana-mana.
SBY tahun 2014, secara politik sudah ‘uzur’, karena sudah dua kali menjadi presiden, dan tidak mungkin lagi mencalonkan. Jadi nampaknya sekarang sikap PKS menghadapi tekanan dari Partai Demokrat dan SBY, bersikap "nothing to lose", dan tidak takut kadernya di reshuffle. Bahkan, Tifatul Sembiring, berujar, "Jangankan di reshuffle, matipun siap", tegasnya.
Kalaupun kadernya dipecat dari kabinet SBY, maka PKS akan mendapatkan ‘durian runtuh’, yang akan digunakan untuk membangun soliditas dan kepercayaan di kalangan internalnya yang sudah menipis, dan PKS akan bergerak lebih bebas tidak lagi terbebani oleh dukungannya terhadap pemerintahan SBY, yang sudah tidak lagi memiliki tempat di hati rakyat.
Hal itu juga nampak sikap dari Ketua Majelis Syura DPP PKS Hilmy Aminuddin, menegaskan, "Jika pun pada akhirnya empat kursi menteri PKS dicopot presiden, pihaknya sama sekali tak merisaukan", tegasnya. "Berjuang untuk kepentingan negara tidak mesti di dalam pemerintahan. Jadi tidak ada soal bagi kami," cetusnya
Menurut Hilmi Aminuddin, sikap PKS yang ikut mendorong Pansus Pajak itu, merupakan bentuk tanggungjawab kepada masyarakat. Karena 70 persen APBN Indonesia dihasilkan dari pajak, ujarnya.
Nampaknya, kursi di kabinet sudah tidak terlalu penting bagi PKS, dan berusaha membangun kembali citranya yang sudah rontok bersama SBY, selama dua periode pemerintahannya, dan sekarang melakukan langkah ‘exit’ dari pemerintahan SBY dengan tujuan untuk kapitalisasi kepercayaan rakyat.
Kemudian, melakukan move politik dengan memunculkan tokoh Sultan Hamengku Buwono, yang sekarang berada dalam posisi ‘vis-vis’ dengan SBY, dan yang lebih penting lagi, PKS menargetkan suara di Jawa, yang merupakan lumbung suara pemilih di dalam pemilu 2014, dan PKS berambisi menjadi tiga besar.
Entah berhasil atau tidak PKS mencapai sasarannya di pemilu mendatang? Rakyatlah yang menentukannya. (mhn)