Kalau “permusuhan” terhadap Pak Anies berlanjut terus di DPRD Jakarta, maka kita akan melihat pengelolaan pemerintahan yang lebih baik lagi. Kita akan melihat kebocoran anggaran yang semakin kecil. Kita akan melihat tertib admimistrasi yang semakin efisien. Kita akan menyaksikan pelayanan publik yang makin bagus. Inilah sesungguhnya peran anggota parlemen.
Dari pengalaman Pak Anies sekarang ini, kita sebaiknya memilih calon-calon gubernur, bupati dan walikota yang tidak disukai oleh partai-partai besar. Kalau ada yang maju melalui jalur independen, itu mungkin lebih baik. Sebab, kalau calon independen terpilih menjadi gubernur atau bupati/walikota, besar kemungkinan dia akan “dimusuhi” di parlemen daerah (DPRD) sehingga setiap gerak dan langkahnya akan selalu dipantau, dikritik, dan dipertanyakan oleh para anggota dewan.
Situasi yang bagus ini tentu tidak akan terjadi di semua daerah. Pengalaman juga menceritakan bahwa kepala daerah yang terpilih dari jalur independen pun bisa saja membuat kerja sama dengan DPRD. Yaitu, kolaborasi untuk koruspsi. Terutama di daerah-daerah yang berada di luar pulau Jawa.
Tetapi, setidaknya, kita berpeluang untuk memaksimalkan fungsi “checks and balances” di provinsi-provinsi dan kabupaten-kota yang berada di Jawa. Saya yakin, kalau rakyat memilih calon-calon yang tidak didukung oleh partai besar, in-sya Allah kita akan menyaksikan perbaikan dalam pengelolaan pemerintahan dan kekuasaan oleh eksekutif.
Pilkada serentak 2018 untuk 177 jabatan gubernur dan bupati-walikota, bisa digunakan oleh rakyat pemilih untuk mendudukkan para calon yang bakal dimusuhi oleh DPRD. Mari kita gagalkan calon-calon dari koalisi partai-partai besar agar terjadi “permusuhan” (checks and balances) terhadap penguasa.