Eramuslim – Di tulisan terdahulu, kita telah melihat betapa runyamnya situasi bangsa dan negara karena tidak ada oposisi di parlemen (DPR). Penguasa bisa melakukan apa saja tanpa tantangan dan tentangan dari wakil-wakil rakyat, terumata parpol-parpol besar yang berkoalisi dengan Presiden.
Akan tetapi, melihat pengalaman awal Gubernur Anies Baswedan dalam mengelola pemerintahan DKI Jakarta, ada pelajaran baru yang bisa kita petik untuk perbaikan penyelenggaraan kekuasaan di masa depan. Pelajaran itu adalah bahwa rakyat lebih baik memilih calon-calon pemimpin yang tidak disukai oleh parpol-parpol besar.
Begini logikanya. Di DPRD Jakarta sekarang ini muncul oposisi yang sangat kuat terhadap Anies Baswedan. Semua parpol besar di situ menyoroti dengan tajam gerak-gerik Pak Anies. Mereka melakukan ini karena ada “rasa permusuhan” dengan Pak Gubernur. Mereka tidak suka Pak Anies menang Pilkada. Orang-orang Nasdem di parlemen DKI “sangat bagus” kinerjanya dalam memojokkan Gubernur. Begitu juga blok PDI-P dan parpol-parpol lain yang sejak awal tidak suka Anies-Sandi.
Misalnya, mereka menggoyang Pak Anies terkait anggaran belanja daerah dan juga soal biaya tim ahli Gubernur. Inilah fungsi “checks and balances” yang diperlukan dan yang harus ditunjukkan oleh parlemen, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.