Pengakuan seperti itu, menurut PGI, merupakan lembaran baru bagi Indonesia setelah yang ia sebut perjuangan panjang dan berliku. Entah menuju arah yang lebih baik atau sebaliknya?
Meski Indonesia telah lama meratifikasi Konvensi Internasional Sipol, dalam kenyataannya masih banyak-banyak hak-hak sipil warga masyarakat yang menurutnya tak dipenuhi dan dilindungi oleh negara, utamanya hak-hak masyarakat adat dan penganut agama lokal di Indonesia.
Kini makin jelas, melalui keputusan MK ini negara sesungguhnya tidak mengenal dikotomi mayoritas-minoritas, karena nomenklatur kita berbangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi adalah warga negara. Dan konstitusi menjamin hak setiap warga negara, apa pun agama/kepercayaannya; dan negara wajib melayani terpenuhinya dan melindingi hak-hak tersebut,” sebut Gomar.
“PGI berterima kasih kepada semua pihak yang tak kenal lelah telah memperjuangkannya, walau harus menghadapi tantangan yang tak ringan,” tambahnya.
PGI mengaku sejak awal ikut serta lewat berbagai saluran untuk memperjuangkan hak-hal masyarakat adat dan agama lokal ini, bahkan ketika masih dalam proses legislasi pembahasan RUU Adminduk. “Namun selalu kalah suara,” imbuhnya. Demikian pun ketika mengajukan JR UU nomor 1/PNPS/1965 yang kandas di MK.
“PGI pada kesempatan ini menyampaikan selamat buat saudara-saudara dan teman Penghayat, Sundawiwitan, Parmalim, Merapu, Kejawen dan ratusan penghayat kepercayaan lainnya. Anda semua adalah pemilik sah dan asli Republik ini, bahkan jauh sebelum kedatangan keenam agama yang selama ini diakui ke Nusantara,” klaim Gomar.
Dengan keputusan MK itu, PGI berharap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan aparatnya hingga ke desa-desa tidak menunda implementasi keputusan ini. “Demikian pun berbagai bentuk regulasi lainnya yang masih diskriminatif dapat segera dihapuskan,” ujar Gomar.