Langgar Konstitusi
Dia menegaskan, saat ini Presiden Jokowi juga telah melanggar konstitusi khususnya Pasal 23 UUD 1945 karena Presiden menetapkan APBN secara sepihak melalui Perpres. Akibatnya terjadi kerugian pada keuangan negara sehingga rakyat semakin miskin, sementara oligarki semakin bertambah kaya.
“Presiden Jokowi juga bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat terkait meninggalnya 894 petugas Pemilu, pembunuhan pengunjuk rasa 21-22 Mei 2019, serta meninggalnya 6 anggota FPI dalam peristiwa KM 50,” jelasnya.
HM Rizal Fadillah, SH, anggota 100 Tokoh Nasional menambahkan, Jokowi juga ikut campur tangan dalam mendukung dan menyiapkan penerus Presiden melalui Pemilu 2024. Padahal yang dilakukan Jokowi tersebut merupakan pelanggaran konstitusi dan menginjak-injak asas demokrasi.
“Demikian juga dengan budaya ancaman dan sandera kepada para politisi tertentu agar seluruhnya dapat dikendalikan oleh Presiden,” jelasnya.
Fadillah menuturkan, masih banyak butir pelanggaran etika, perbuatan tercela, KKN, serta penghianatan negara yang dilakukan Jokowi. Seluruh pelanggaran Jokowi tersebut telah tertuang dalam konsiderans Petisi 10O.
Banyaknya pelanggaran juga menjadi bukti dan alasan bahwa Presiden Jokowi sudah layak dan berdasar hukum untuk dapat segera dimakzulkan.
“Petisi 100 ini dibuat dalam rangka memulihkan kedaulatan rakyat, sebagai kewajiban terhadap upaya menyelamatkan bangsa dan negara, serta wujud dari pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa,” paparnya.
Lampu Kuning
Sebelumnya, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla memberikan lampu kuning terhadap jatuhnya pemerintahan Jokowi karena dipicu oleh krisis politik dan ekonomi.
Dia mengatakan bahwa pada era Presiden Soekarno, masa pemerintahannya jatuh akibat krisis politik yang terjadi pada 1966. Hal itu terjadi lantaran masyarakat geram melihat sejumlah orang ditangkap dan harga bahan bakar minyak (BBM) melambung tinggi.
“Dua krisis bersamaan timbul, [krisis] politik terjadi, ekonomi terjadi waktu yang bersamaan maka jatuh lah suatu pemerintahan. Artinya, demokrasinya tidak jalan, tujuannya tak jalan, yaitu kesejahteraan,” ujarnya saat hadir di acara Habibie Democracy Forum di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (15/11/2023).
Pada 1998, dia melanjutkan bahwa situasi serupa dialami Presiden Ke-7 RI Suharto yang pendekatan otoriternya dikecam banyak pihak. Hal itu diperparah lantaran Indonesia pun dihantam oleh krisis keuangan dunia. O
JK menilai bahwa di masa kepemimpinan saat ini ekonomi dunia tengah dalam kondisi yang sulit. Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun seringkali menyebut ekonomi dunia dalam kondisi yang mengerikan.
“Kalau ini dampaknya bersamaan, maka kita harus hati-hati [potensi pemerintahan jatuh]. Artinya kembali ke jalur demokrasi yang baik,” pungkas JK. (Sumber: harianterbit)