eramuslim.com – Bintang Emon menyuarakan keresahannya saat berorasi dalam demo di depan Gedung DPR, Kamis (22/8). Bintang bersama komika lainnya menyerukan publik melawan kebijakan yang mencederai demokrasi di Indonesia.
“Lawan! Kita dikumpulkan karena kemarahan kita,” kata Bintang Emon di atas mobil orasi di depan Gedung DPR Senayan Jakarta.
“Kita dianggap tolol, ketika dianggap tolol, kita harus lawan. Berikan kami kompetisi yang baik untuk menghasilkan pemimpin yang baik untuk kita,” lanjutnya.
“Tadi ada titipan dari teman-teman di bawah. Buat teman-teman yang enggak bisa hadir di sini, tanamkan ini dalam kepala kalian, kalau belum umur 30 jangan nyalon dulu, jangan ya dek ya. Hidup rakyat!” katanya.
Komika lainnya, Mamat Alkatiri juga menyuarakan hal serupa. Komika kelahiran Ambon tersebut menyerukan publik untuk tidak terpecah belah. Hal senada juga diserukan oleh Arie Kriting.
“Saya cuma minta kita jangan lagi mau dipecah belah oleh mereka, kita tinggalkan segala ego dalam diri kita, kita bersatu, karena mereka takut kalau kita bersatu,” kata Mamat.
“Kita sudah capek, bagaimana wakil kita tidak mewakili suara rakyat!” kata Arie.
Sejumlah komika Indonesia ikut turun ke jalan dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, untuk menolak pengesahan Revisi UU Pilkada yang juga dikenal sebagai gerakan Peringatan Darurat Indonesia.
Partisipasi deretan komika itu dikonfirmasi dalam video terbaru yang diunggah Adjis Doaibu. Presiden Stand Up Indo itu membagikan video yang memperlihatkan sejumlah komika tengah bersiap di kawasan dekat Gedung DPR.
“Sudah ready ‘tamasya’ di Senayan,” ucap Adjis Doaibu dalam video yang diunggah pada hari ini, Kamis (22/8).
Beberapa di antaranya, Abdur Arsyad, Arie Kriting, Abdel Achrian, Bintang Emon, Arif Brata, Yudha Keling, hingga Rigen Rakelna. Komika lainnya dari komunitas Stand Up Indo juga terlihat ikut berkumpul.
Aksi ini digelar untuk menolak kesepakatan rapat Panja Baleg DPR pada Rabu (21/8) kemarin karena dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/8).
Demonstrasi besar ini dipicu manuver DPR menganulir putusan MK soal syarat pencalonan kepala daerah dan syarat usia calon kepala daerah.
DPR, alih-alih mengikuti putusan MK, justru menggelar pembahasan revisi UU Pilkada. Dua poin dalam revisi itu terang-terangan tidak merujuk pada putusan MK.
Pertama terkait perubahan syarat ambang batas pencalonan pilkada dari jalur partai hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD.
DPR sepakat partai yang punya kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya. Padahal, putusan MK telah menggugurkan syarat tersebut.
Kemudian soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di pasal 7. Baleg memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) dibandingkan MK. Dengan demikian, batas usia calon gubernur ditentukan saat pelantikan calon terpilih.
Terbaru, DPR menunda gelaran paripurna pengesahan Revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau RUU Pilkada karena pimpinan DPR belum mendapat kuorum kesepakatan.
(Sumber: Cnnindonesia)