Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Utang Negara

Ketika rasio penerimaan pajak terhadap PDB terus turun, defisit membengkak, beban bunga dibayar dengan utang baru, dan utang pemerintah akan naik dengan cepat, maka itulah ekonomi ambruk dan utang menggunung, bahkan bisa melampaui batas maksimum 60 persen dalam jangka waktu yang lama.

Di sisi lain defisit anggaran sudah melampaui 3 persen dari PDB sesuai yang ditetapkan oleh Pasal 12 (3) UU Keuangan Negara.

Meskipun beberapa ekonom masih mempertanyakan angka 3 Persen itu, tapi secara hukum angka itu adalah angka maksimun yang harus dipertahankan oleh pemerintah supaya tidak terjadi defisit yang semakin besar.

Namun pada tahun 2020 defisit anggaran mencapai 6,2 persen dari PDB. Diperkirakan pada tahun 2021 defisit 5,7 persen. Tentu hal ini telah melampaui ketentuan hukum dan dapat disebut sudah melanggar ketentuan hukum yang berlaku.

Tetapi pemerintah membuat akal-akalan untuk mempertahankan status quo dengan skema ekonomi yang melanggar UU Keuangan negara itu.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Perppu 1 Tahun 2020 yang Kemudian menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Meskipun UU itu untuk alasan Covid-19, tapi norma yang diatur adalah masalah ekonomi.

Jadi tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan skema ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah meskipun merugikan negara, menambah utang dengan alasan covid, melampaui batas defisit APBN dengan alasan Covid-19 dan lain-lain.

Maka dengan UU Nomor 2/2020 itu pemerintah membuat pasal-pasal tertentu untuk menyelamatkan diri dengan memberikan imunitas bagi pejabat yang mengambil kebijakam sehingga terbebas dari jelas hukum.