Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Utang Negara

Hasil audit laporan keuangan pemerintah selama tahun 2020 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan beberapa hal yang harus diwaspadai pemerintah, salah satunya penambahan utang pemerintah.

Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara, yang dikhawatirkan pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.

Laporan hasil audit BPK yang disampaikan di hadapan DPR RI dan Presiden itu tentu bukan asal-asalan. Sebagai lembaga auditor, BPK sudah menorehkan banyak prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Tentu setiap laporan BPK telah dilengkapi dengan hitungan yang cermat, menurut standar dan rekomendasi internasional, IDR (International Debt Relief) dan IMF.

Sebagaimana kita ketahui bersama dari penjelasan para ekonom, bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB naik tajam setiap tahunnya.

Menurut pengamat ekonomi, Anthony Budiawan (2021), rasio utang terhadap PDB dari 24,7 persen (2014) menjadi 30,2 persen (2019). Dan melonjak menjadi 39,4 persen (2020).

Diperkirakan akhir tahun 2021 ini rasio utang mencapai 46 persen hingga 48 persen dari PDB.

Bahkan dengan kondisi ini menurut Anthony, kemampuan Indonesia membayar bunga dan utang luar negeri bergantung dari ketersediaan utang luar negeri. Artinya ekonomi seperti yang dinyanyikan oleh Rhoma Irama “gali lubang tutup lubang”.

Keadaan ekonomi yang mengandalkan utang seperti itu sudah masuk pada tahap krisis. Karena Indonesia mengandalkan utang dengan membayar utang sementara kemampuan Indonesia menghasilkan devisa sangat lemah, bahkan sudah negatif.

Meminjam istilah Said Didu, ekonomi Indonesia berkembang dengan cara buatan yaitu dengan mengandalkan utang, oleh Said Didu istilahkan dengan “ekonomi ventilator”.

Ekonomi yang dipaksakan tumbuh dengan utang meskipun rasio utang sudah semakin berbahaya. Kemampuan Indonesia membayar bunga dan utang luar negeri saat ini tergantung dari ketersediaan utang luar negeri.

Permainannya bukan lagi apakah Indonesia mampu membayar, tetapi juga apakah pihak asing bersedia untuk terus memberi utang. Dari perspektif ekonomi, Indonesia sudah dalam ancaman default.

Baik dari hasil audit BPK maupun dari perspektif ekonomi, Indonesia sudah dalam ancaman utang dan itu berbahaya.

Risiko utang yang demikian membahayakan itu dari perspektif hukum sudah melanggar ketentuan Pasal 12 Ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara.

Yaitu dimana utang negara sudah mencapai batas maksimun 60 persen dari PDB maka kebijakan ekonomi tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

Bahkan kalau kita melihat skema utang Indonesia sekarang dan beban bunga utang terhadap penerimaan pajak pada akhir Mei 2020 mencapai 27,7 persen karena penerimaan pajak rendah, hal ini melampaui standar aman yang ditetapkan IMF 10 persen.