Anggota Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (F-PDIP) DPR Suparlan menilai pertanggungjawaban pengelolaan Gelora Bung Karno dan Kompleks Kemayoran di bawah Mensekneg tidak jelas.
Karena itu, lanjut dia, Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY) harus mencabut Keppres tentang pengelola kawasan bisnis Kompleks Kemayoran dan Kompleks Gelora Bung Karno Senayan oleh Mensesneg, karena pertanggungjawaban keuangannya selama ini tidak pernah jelas. Bahkan bisa menimbulkan kesan, kedua kawasan bisnis merupakan ‘ATM’ Mensesneg.
“Supaya jelas dan bisa diaudit, alihkan saja kepada Badan Otonom atau Pemda DKI Jakarta. Selama ini pertanggungjawaban keuangan pengelolaan kawasan bisnis Kemayoran dan kawasan Gelora Bung Karno Senayan tidak pernah transparan, apalagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa mengaudit, karena tidak masuk dalam APBN sebagai keuangn pemasukan dan pengeluaran keuangan negara,” ujar Suparlan.
Menurutnya, Mensesneg selama ini diberi wewenang berdasarkan Keppres No 53 tahun 1985, jo 55/86 dan jo 73 tahun 1999, tentang Badan Pengelolaan Kompleks Kemayoran. “Saya pikir presiden harus mencabut Keppres tersebut, sebelum pengelolaan komplek kemayoran itu dimasukkan ke dalam UU Pemerintahan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara RI, melalui keputusan politik. Demikian pula halnya dengan pengelolan Kompleks Gelora Bung Karno. Saya pikir Keppres No 4 tahun 1984 jo No 72/1999 tentang Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno juga harus dicabut,” jelas Suparlan lagi.
Ia mengungkapkan, Keppres tersebut sangat ironis karena memberikan wewenang pada Mensesneg Yusril Ihza Mahendra untuk mengelola wilayah-wilayah bisnis seperti Komplek Kemayoran dan Gelora Bung Karno, sementara tugas dan wewenangnya adalah menangani persoalan administrasi negara dan pidato-pidato kenegaraan presiden yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara.
Akibatnya, kata dia, tugas-tugas pokok Mensesneg Yusril Ihza Mahendra menjadi tidak fokus karena terbelah pada urusan-urusan bisnis. Salah satu dampaknya, presiden tidak mendapatkan data autentik dan aktual, sehingga keterangan-keterangan maupun pidato kenegaraan presiden tidak akurat dan mendapat kritikan dari rakyat. (dina)