Eramuslim.com – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pada Ahad siang tadi (5/7) memberikan “kuliah” di Twitter, denganhastag atau tanda pagar #WaspadaPHK. Menurut dia, melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan-I (Q-I) sebesar 4,7% telah memberikan efek negatif. “Setiap satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap sekitar 200.000 tenaga kerja Dari asumsi APBN-P 2015 tumbuh 5,7%, selama Q1 2015, jumlah pengangguran meningkat sebesar 200 ribu hingga 300 ribu jiwa. Kondisi perekonomian semakin muram ketika nilai tukar rupiah terus melemah. Hingga awal Juli 2015, Rp13.300 per USD. Kondisi ini tentu akan semakin mempersulit industri nasional yang tergantung pada barang import. Bahkan, sepanjang bulan Januari hingga Mei 2015, nilai ekspor mencapai US$ 64,7 miliar atau turun sebesar 11,8% (yoy), sedangkan impor mencapai US$ 60,9 miliar atau mengalami penurunan sebesar 17,9% (yoy). Kondisi tersebut akan semakin sulit dalam beberapa waktu ke depan,” tulis Fahri.
Kolaps-nya perekonomian Yunani, tambahnya, diyakini akan berdampak terhadap perekonomian Eropa dan Amerika Serikat, terutama mata uang euro dan dolar Amerika Serikat. Tekanan dolar Amerika Serikat akan memberikan pengaruh terhadap pelemahan rupiah. “Kondisi makroekonomi tersebut tentu tidak bisa dianggap enteng atau sepele oleh pemerintah, sehingga sampai hari ini belum terlihat langkah-langkah kebijakan ekonomi yang signifikan diambil pemerintah,” tuturnya.
DPR dan Bank Indonesia, lanjutnya, pada pekan lalu membincangkan beberapa kepentingan regulatif dalam mengantisipasi keadaan. Sebab, para investor dan pemilik modal cenderung menahan belanja atau investasi yang akan mereka keluarkan. “Hal ini terlihat dari turunnya Indek Harga Saham (IHSG) per 26 Juni 2015 sebesar 4.923,2 atau melemah 5,8% (ytd). Selain itu juga terlihat dari turunnya penjualan beberapa industri besar, seperti industri otomotif (mobil dan motor), industri propert, dan lain-lain. Beberapa industri lain, seperti pertambangan dan penggalian turun sebesar 9,19%, industri pengolahan turun 0,62. Turun juga: listrik/gas (7,34%), konstruksi (5,94%), perdagangan besar/kecil (0,70%), transportasi/pergudangan (1,17%),” kata Fahri.
Sementara itu, di sisi lain, lanjutnya, daya beli masyarakat tidak mengalami peningkatan. Upah buruh atau pekerja masih disekitar upah minimum. Kondisi ini akan semakin diperparah dengan ancaman Inflasi. Angka inflasi hingga bulan Juni 2015 mencapai, 0,54% (mtm), 0,96% (ytd), 7,26% (yoy). Komponen volatile makanan mengontribusi inflasi terbesar bulan ini yaitu 0,29%(mtm). “Hal ini yang secara umum disebabkan peningkatan permintaan karena semakin dekatnya bulan Romadon,” ungkap Fahri.
Sementara itu, komponen core dan administered price masing-masing menyumbang inflasi sebesar 0,13% dan 0,08%. Potensi tekanan inflasi hingga akhir 2015 antara lain bersumber dari: (i) kebijakan BBM bersubsidi; (ii) penyesuaian tarif listrik (TTL); (iii) rencana kenaikan gas Elpiji 12 kilogram dan kebijakan Elpiji bersubsidi 3 kilogram; (iv) rencana kenaikan tarif tol; (v) rencana kenaikan biaya pembuatan SIM mulai 1 Juni; (vi) el nino; (vii) peningkatan permintaan menjelang HBKN; (viii) pembatasan impor beras. “Sekali lagi, perlu langkah-langkah nyata dan konkret dari pemerintah untuk meredam kegelisahan masyarakat yang semakin kentara. Semua komponen sedang menunggu langkah dan kebijakan yang meyakinkan bahwa kita sedang tidak menuju krisis,” tutur Fahri lagi.
Keputusan Presiden Joko untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Jaminan Hari Tua (JHT), tambah Fahri, semakin membuktikan pemerintah sedang galau, tidak tahu apa yang mesti diperbuat dan dikerjakan. “Pemerintah sedang mendelegetimasi dirinya sendiri. Bisa dipahami kemudian, para pekerja sedang menghadapi kegelisahan yang sangat mendalam. PHK sepanjang pemerintahan Jokowi-JK, tidak bekerjanya pemerintah, telah mengancam kehidupan mereka. Ekonomi yang melambat, inflasi yang tinggi, melemahnya nilai tukar, daya beli berkurang, lalu terancamnya pembayaran THR hingga ancaman PHK akan menjadi puncak kegelisahan,” kata Fahri.
Sebelumnya, nada muram terkait perekonomian Indonesia juga disuarakan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyon dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Ketika memberikan arahan kepada kader partainya di Balai Sidang Jakarta, Sabtu kemarin (4/7), SBY mengkritik kondisi ekonomi yang terjadi dalam kepemimpinan Joko -Jusuf Kalla sekarang ini. “Ekonomi kita sedang lesu sekarang. Persoalan ekonomi yang makin dalam tekanannya dan terasa di berbagai daerah di seluruh Indonesia,” kata SBY.(rz/pribuminews)