Kalangan non-Muslim tak perlu takut dengan peraturan-peraturan daerah bernuansa Islam. Sebab di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan membuktikan kalangan non Muslim justru bergembira dengan penerapan perda yang bernuansa Islam.
‘’Mereka malah berterima kasih karena keamanan terjaga dan tidak ada pemalakan lagi,’’ ujar mantan Bupati Bulukumba, Drs H. Andi Partabi Pobokori dalam diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) yang bertajuk "Perda Syariat, Tinjauan Hukum dan Empiris" di Jakarta, Senin (24/7).
Menurutnya, masyarakat Bulukumba tidak semuanya Muslim. Jumlah non-Muslim sekitar 2,5 persen. Mereka ini tidak pernah dipaksa untuk melaksanakan perda yang memang diperuntukkan bagi kalangan Muslim. Namun mereka merasakan dampak pelaksanaan perda-perda itu. Perda di Bulukumba yaitu kewajiban membaca Alquran, zakat, busana Muslimah, dan larangan judi dan minuman keras.
Dia menceritakan seorang warga keturunan yang sangat gembira karena adanya perda larangan judi dan miras. ‘’Suaminya yang biasa mabuk dan judi, tak bisa lagi melakukan aksinya. Dia mengaku keluarganya jadi harmonis,’’ katanya disambut tawa hadirin.
Berdasarkan penelitian empiris, kata Andi, tingkat kriminalitas menurun drastis sejak penerapan perda-perda itu diberlakukan. ‘’Tawuran pemuda yang biasa terjadi hilang, premanisme terkikis, demikian juga pemalakan kepada para penguasa. Karena mereka kita sadarkan dengan mengaji,’’ jelas Andi. Justru sebaliknya, sambung dia, pendapatan daerah naik drastis dengan adanya perda tentang zakat.
Sementara itu, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto menilai perkembangan perda bernuansa syariat ini dalam dua perspektif. Pertama, perspektif perkembangan, ini adalah perkembangan yang baik karena tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Menurutnya, ini menunjukkan adanya kesadaran. ‘’Ini sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya umat Islam rindu syariah.’’
Kedua, sambung dia, dari perspektif ideal. Perda-perda yang ada jauh dari ideal karena hanya mengatur masalah individual. ‘’Padahal Islam itu juga mengatur urusan hidup bermasyarakat dan bernegara,’’ tandasnya. Karena itu, penerapan perda bernuansa syariat bisa mereduksi pemahaman Islam secara kaffah apabila itu dianggap sudah Islami.
Ismail menyatakan penerapan Islam tak perlu harus menunggu seluruh kaum Muslim tahu Islam dulu. ‘’Tak perlu ditanya dulu apakah umat siap atau tidak. Dulu ketika kapitalisme diterapkan, apakah kita pernah ditanya apakah kita sudah siap menjalankan kapitalisme?’’ katanya seraya menambahkan penerapan Islam harus langsung. Dia meyakinkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin yakni membawa rahmat bagi siapa saja yang ada di dalamnya baik Muslim maupun non Muslim.
Pembicara lain, Lukman Hakiem Syaifuddin, anggota DPR RI dari PPP menyatakan beberapa kalangan masih phobia dengan Islam. Mereka bukan hanya dari kalangan non Muslim tapi dari kalangan Muslim sendiri. ‘’Pekerjaan rumah kita yaitu bagaimana mengkampanyekan Islam yang tidak menakutkan,’’ katanya. (dina)