Sementara itu kelompok pemantau Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan, selama 72 jam terakhir, pasukan Suriah dan Rusia telah melakukan 1.060 kali serangan udara ke Idlib.
“Sebagai tanggapan, al-Jabha al-Wataniya lil-Tahrir (NLF), kelompok oposisi bersenjata utama, pada Ahad, menembaki posisi pasukan pemerintah (Suriah) di Hama utara,” ungkap SOHR.
Kemudian konvoi lain kendaraan militer Turki menyeberang ke Idlib pada Ahad. Selama 10 hari terakhir, sejumlah konvoi serupa, yang membawa senjata dan mobil lapis baja, telah memasuki Suriah utara guna memperkuat 12 titik atau pos pengamatan yang diawaki oleh tentara Turki.
Pos-pos itu, yang terletak di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak di Aleppo barat, Provinsi Hama, dan Idlib utara, didirikan di bawah perjanjian deeskalasi yang dicapai Turki, Iran, dan Rusia. Seruan Turki agar dilaksanakan gencatan senjata di Idlib telah ditolak Suriah dan Rusia pada Jumat pekan lalu.
Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soyli memperingatkan tentang kemungkinan terjadinya gelombang pengungsi jika serangan militer besar-besaran dilancarkan ke Idlib. “Kami peduli pada kemanusiaan dan kami tidak akan menyerah. Kami tidak akan bertanggung jawab atas gelombang migrasi jika ada kemungkinan serangan (di Idlib), ujarnya.
Idlib merupakan wilayah yang hendak direbut kembali oleh Suriah dengan bantuan sekutunya, yakni Rusia dan Iran. Saat ini Idlib masih dikuasai milisi pemberontak yang menentang pemerintahan Bashar al-Assad.
PBB telah memperingatkan, serangan ke Idlib, yang dihuni 2,9 juta orang, berpotensi menciptakan keadaan darurat kemanusiaan dalam skala yang belum terlihat sebelumnya. Jumlah warga Idlib yang membutuhkan bantuan, yang saat ini sudah cukup tinggi, akan melonjak tajam. Sementara itu, 800 ribu orang diperkirakan dapat mengungsi bila serangan besar-besaran terjadi di sana. (rol)