Keputusan pemerintah yang akan membebaskan proses hukum atas mantan Presiden Soeharto dinilai mencederai gerakan reformasi. "Kita merasakan benar dampak sepak terjang Pak Harto, lho sekarang mau dimaafkan begitu saja. Ini jelas mengkhianati semangat reformasi yang sedang berjalan," ujar Wakil Ketua DPD Laode Ida di Jakarta, Kamis (11/5/).
Menurutnya, para pejabat negara, lembaga negara, yang menyarankan agar Soeharto diampuni adalah orang-orang yang tidak ikut berjuang dalam era reformasi. Bahkan mereka boleh dibilang menikmati buah dari gerakan reformasi yang digerakkan, anehnya justru mereka yang berteriak keras agar Soeharto dimaafkan.
"Bagaimana mungkin mereka bisa bersikap obyektif terhadap Pak Harto, toh mereka juga anak didik Pak Harto dimasa lalu," tegasnya.
Dijelaskannya, sebagai manusia dia bisa saja memaafkan Soeharto, tapi sebaiknya proses hukum dituntaskan apapun bentuknya. Setelah itu, sebagai hormat kita atas jasa baiknya terhadap bangsa dan negara, bisa memaafkan melalui mekanisme abolisi, amnesti ataupun bentuk lain.
Laode mengaku dirinya saat reformasi awal dicanangkan ikut turun ke jalan, bahkan saat hari H mantan Presiden Soeharto mengundurkan diri, dia tengah turun ke jalan bersama mahasiswa.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid menegaskan, Forum Konsultasi Pimpinan Lembaga Tinggi Negara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum memutuskan akan memberi pengampunan kepada mantan Presiden Soeharto.
"Tidak benar sudah ada keputusan akan memberi pengampunan kepada Pak Harto. Pertemuan Rabu malam, Presiden meminta masukan dari pimpinan lembaga negara, " katanya.
Dalam pertemuan tersebut memang mencuat sejumlah pendapat, antara lain Tap MPR Nomor 11/1998 yang memberi amanat untuk pengusutan kasus KKN Pak Harto sudah tidak berlaku, sebab Tap MPR ini tidak memiliki landasan undang-undang.
Pendapat lain, katanya, meminta MPR mencabut Tap MPR tersebut. Namun menurut Hidayat, MPR tidak memiliki kewenangan konstitusional melakukan hal itu.
"Jadi sepanjang Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 masih ada, ketentuan tersebut harus ditaati. Ketentuan tersebut juga masih dikuatkan dengan Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003," sambung mantan Presiden PKS itu. (dina)