Penjara Cipinang Bakal Dipenuhi Anggota Dewan

Kemungkinan, sejumlah sel tahanan di Jakarta akan dipenuhi penghuni baru. Komisi Pemberananntasan Korupsi hampir menyelesaikan penyidikan 25 politikus tersangka kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia pada 2004.

Menurut seorang pejabat di KPK, kasus yang berkaitan dengan travel check itu, "Sudah 80 persen," ujarnya. Jika tak ada aral melintang, pertengahan Desember ini kasus para legislator itu akan disidangkan. Meskipun, seorang tersangka yang konon menerima Rp 1,4 miliar, Panda Nababan dari PDIP tetap menolak diperiksa kembali oleh KPK.

Para anggota DPR itu ditetapkan sebagai tersangka pada awal September lalu, para anggota Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 itu, mereka umumnya masih hidup dengan bebas.

Mereka terdiri atas 10 politikus Partai Golkar, 14 anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan 2 orang dari Partai Persatuan Pembangunan. Mereka diduga menerima Rp 150 juta hingga Rp 1,4 miliar, berupa cek pelawat, melalui Nunun Nurbaetie, istri Adang Daradjatun, mantan Wakil Kepala Kepolisian RI yang kini politikus Partai Keadilan Sejahtera.

Sebagian anggota "rombongan" tersangka itu masih bekerja seperti biasa. T. Nurlif, politikus Partai Golkar, misalnya, tetap bekerja sebagai pemimpin Badan Pemeriksa Keuangan. Panda Nababan dari PDI Perjuangan bahkan ikut menguji calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis pekan lalu, sebagai anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.

Siapa yang menjadi biang keladinya, pemberi check itu, masih buntu. Meskpun, seluruh anggota legislatif itu, mereka mengakui check itu diberikan oleh Nunun Nurbaiti melalui stafnya Ari Malangyudo. Namun, Nunun Nurbaetie, yang berkali-kali dipanggil untuk dimintai keterangan, tetap mangkir. Meninggalkan Tanah Air sejak Februari lalu, sebulan sebelum surat pencegahannya dikeluarkan, hingga kini ia tinggal di Singapura. Menurut suaminya, Nunun terserang stroke yang membuatnya kehilangan memori.

Selasa dan Kamis pekan lalu Nunun dipanggil kembali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dimintai kesaksiannya. Tapi dia lagi-lagi mangkir. Adang mengirim surat, menyatakan istrinya tak bisa datang. "Saya sedih, istri saya digebukin terus. Dia tidak tahu-menahu soal traveller cheque itu," ujarnya.

Dianggap mengetahui sumber duit sogokan dalam pemilihan Miranda, Nunun hanya sekali datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada November 2009. Komisi tidak mendapatkan keterangan apa pun, karena Nunun hanya menjawab "lupa" dan "tidak tahu". Tiga kali dipanggil pengadilan, Nunun juga mangkir.

Menurut dokter Andreas Harry, Nunun terserang amnesia cenderung demensia, yang membuat pengidapnya lupa sama sekali dengan lingkungannya. Serangan itu, menurut Andreas, dipicu oleh migran dan vertigo yang dideritanya sejak tiga tahun silam. Itu sebabnya, Nunun tidak memenuhi panggilan pengadilan. "Ibu Nunun sudah tak mampu mengingat peristiwa di masa silam," tutur Andreas.

Tetapi, benarkah dia sakit? "Ah, ngapusi. Wong, sehat kok," kata seorang tokoh yang belum lama ini bertemu Adang dan Nunun di rumah mereka, Holland Village, Singapura (lihat "Kolektor Hermes di Rimba Singapura"). Tiga orang sumber Tempo dari kalangan berbeda dan secara terpisah memberikan informasi serupa: mereka melihat Nunun berbelanja di Orchard Road. "Ia ditemani tiga orang," kata seorang sumber. "Salah satunya mirip polwan."

Sumber lain melihat Nunun bercengkerama di sekitar Apartemen Scott 28, tempat tinggal lain keluarga itu di Singapura. Ia tampak tertawa-tawa, jauh dari kesan orang yang terserang amnesia. Lebaran lalu, Nunun kabarnya sempat menyeberang ke Bangkok, Thailand.

Adang hanya tersenyum lebar ketika Tempo meminta konfirmasi tentang kondisi istrinya. Menolak menyebutkan tempat istrinya tinggal, ia juga membantah istrinya bepergian ke luar Singapura. "Hanya di Singapura," ucapnya. Namun dia tidak membantah kalau ia atau anaknya bepergian ke Bangkok. "Itu dalam rangka bisnis, tidak ada konteks dengan Ibu."

Pengacara Nunun, Ina Rachman, membenarkan kliennya membatasi kunjungan dari teman-temannya. Alasannya, ia tidak boleh terlalu capek. "Keluarga memang selektif memilih siapa saja yang boleh bertemu," ujarnya.

Peran Nunun Nurbaetie dalam  perkara ini muncul dari pengakuan Arie Malangjudo, Direktur PT Wahana Esa Sejati, perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Nunun. Kepada penyidik dan hakim pengadilan korupsi, Arie mengaku dikenalkan Nunun kepada Hamka Yandhu, politikus Partai Golkar terpidana dua setengah tahun kasus ini.

Arie kemudian mengatakan diminta Nunun membagikan cek pelawat untuk anggota Dewan. Arie mengantar tas buat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diterima Dudhie Makmun Murod di Restoran Bebek Bali, Senayan, Jakarta. Lalu buat Partai Persatuan Pembangunan, yang disetor lewat Endin di Hotel Century. Tas berpita kuning jatah buat Golkar diambil oleh Hamka. Udju Djuhaeri, R. Sulistiyadi, Suyitno, dan Darsup Yusuf dari Fraksi TNI/Polri tiba menjelang petang buat mengambil tas berpita putih. Ketika hakim mempertemukan Arie dan Hamka di persidangan, keduanya mengakui pernah bertemu dan berkenalan di ruang kerja Nunun.

Jejak Nunun juga terlihat dari pengakuan Udju Djuhaeri kepada penyidik. Udju mengaku ditelepon Nunun agar datang ke kantornya di Jalan Riau 17, Menteng, Jakarta Pusat. "Nanti ketemu staf saya bernama Arie, ajak juga anggota lain," kata Nunun.

Udju kepada penyidik juga mengaku pernah ditelepon Adang Daradjatun sebelum hari pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 8 Juni 2004. Bekas atasannya itu meminta anggota Fraksi TNI/Polri mendukung Miranda.

Keberadaan Nunun juga terlihat dari keterangan tempat dibagikannya sebagian cek pelawat kepada anggota Dewan, yakni kantor Nunun sendiri di Jalan Riau 17, Menteng. Terakhir, ada pencairan cek pelawat sebesar Rp 1 miliar yang dilakukan Sumarni. Kepada hakim pengadilan korupsi, sekretaris Nunun ini mengaku diperintah salah satu direktur Wesco Group.

Adang terlihat emosional membela istrinya. Dengan suara tercekat, dia membantah semua keterangan Arie maupun Udju. "Anda seharusnya menelusuri siapa Arie itu. Dia bukan pesuruh, dia partner, direktur juga. Jangan kecilkan peran dia," ujarnya.

Cek pelawat 480 lembar senilai Rp 24 miliar itu diterbitkan Bank Internasional Indonesia atas permintaan Bank Artha Graha. Pembelian dipesan PT First Mujur Plantation & Industry, perusahaan perkebunan milik Hidayat Lukman alias Teddy Uban. Kepada penyidik, Hidayat menyatakan cek dipesan buat membayar pembelian perkebunan dari Ferry Yen, mantan staf Artha Graha yang meninggal pada 2007.

Anehnya, kurang dari dua jam setelah diterbitkan, cek sudah berpindah tangan ke kantor Nunun. Lalu, pada hari yang sama, melalui Arie Malangjudo, cek telah menyebar ke anggota Dewan. Meski nomor seri yang diterima anggota Dewan sama persis dengan cek yang dipesan First Mujur, Komisi Pemberantasan Korupsi belum menyimpulkan dua peristiwa itu berkaitan.

Sumber Tempo menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi gamang menentukan status Nunun. Petinggi komisi itu masih berharap Nunun bersedia membuka asal-muasal duit cek. Menjadikannya tersangka, kata seorang petinggi, akan menghentikan pengusutan kasus hanya sampai ke Nunun. "Pemodal utamanya bakal tak tersentuh," ujarnya. Ada kabar, Komisi telah mengirim "sinyal" kepada Nunun agar mau kooperatif. Namun sang nyonya tak menunjukkan respons setuju.

Sumber itu mengibaratkan Nunun seperti Hengky Samuel Daud, perantara dalam kasus korupsi pembelian mobil pemadam kebakaran di Kementerian Dalam Negeri. Alih-alih membuka atasnya, Hengky bungkam hingga meninggal di tahanan karena sakit. Ia mengatakan tidak mau kejadian itu terulang pada Nunun.n (mn/tempo/sumber lainnya)