Pengurus MUI: Soal Perkawinan Penghayat Kepercayaan Bikin Ruwet

Eramuslim – Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah yang di dalamnya mengatur perkawinan dan pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan.

Aturan itu tertuang dalam PP 40/2019 tentang Pelaksana UU 24/2013 tentang Perubahan atas UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Anton Tabah Digdoyo mengkhawatirkan peraturan itu akan melahirkan bentura di tengah masyarakat.

Ia meminta agar MUI mengeluarkan fatwa terkait hal ini.

Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat ini juga bercerita bahwa gagasan di dalam peraturan itu bukan hal baru.

“Tahun 2014 saya diundang Kementerian Agama untuk berdiskusi tentang aliran Bahai yang akan diakui sebagai agama baru di Indonesia. Saya tentang keras. Alhmdulillah hal itu tidak terjadi,” ceritanya.

“Tetiba tahun 2018 yang lalu muncul Perpres bahwa aliran kepercayaan disamakan dengan agama dan masuk di kolom KTP. Ini tidak mengindahkan saran MUI yang menolak aliran kepercayaan disamakan dengan agama,” sambung pensiunan jenderal polisi ini.

Seperti yang diduganya, kini masalah itu menjadi ruwet.

Jika setara dengan agama, masih kata mantan ajudan Presiden Soeharto ini, aliran kepercayaan harus punya syariat sendiri, Kitab Suci sendiri, Nabi sendiri, Tuhan sendiri, termasuk ibadah dan muamalahnya. Juga tata cara kelahiran pernikahan kematian dll tidak boleh ikuti cara agama lain.