Pengungsi Terlantar, Rawan Konflik Sosial

Ketua Panitia Ad Hoc III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nuzran Joher menilai, meskipun pemerintah sudah menentukan deadline urusan pengungsi selesai akhir tahun 2005, namun kenyataannya masih dijumpai banyak pengungsi yang sama sekali belum mendapat bantuan pemerintah.

"Selama para pengungsi masih hidup di barak-barak darurat mereka akan menjadi salah satu sumber kerawanan. Jalan keluarnya, ia mengusulkan, masalah pengungsian ditangani melalui program pengentasan kemiskinan, " ujar Nuzran di Gedung DPD, Jakarta.

Menurutnya, data jumlah pengungsi yang berbeda-beda antara yang dimiliki pemerintah daerah dengan dinas sosial dan posko pengungsi juga masalah tersendiri.

Perbedaan tersebut, katanya, menunjukkan telah terjadi tarik menarik antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota. "Di Maluku, masalah pengungsian masih ditangani pemerintah provinsi meskipun sejak tiga tahun lalu terdapat keinginan menyerahkan masalah pengungsian kepada pemerintah kabupaten/kota, " paparnya.

Tetapi, sambung dia, pemerintah kabupaten/kota berkeberatan sepanjang belum dijelaskan sharing cost penanganan pengungsian dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota. “Sebanyak 60% kepada pemerintah kabupten/kota, dan 40% kepada pemerintah provinsi, ” kata Nuzran.

Karena itu, pihaknya mengingatkan pemerintah agar segera menuntaskan penanganan pengungsi agar terselesaikan secepatnya. Penanganan pengungsi yang berlarut-larut dan tidak kunjung selesai dapat menjadi sumber potensi konflik.

Alasannya, hal itu terkait dengan masalah kemanusiaan yang tetap berhubungan dengan situasi keamanan, karena secara psikologis mereka di barak-barak pengungsian masih dalam suasana traumatik dan gampang terprovokasi oleh beragam isu. (dina)