“Pola itu selalu muncul menjelang momen politik yang hangat di tingkat lokal, nasional atau global. Di masa Orde Baru, aktivis Muslim disebut ekstrem kanan, sementara pendukung ideologi komunis disebut ekstrem kiri. Ketika terjadi Revolusi Iran (1979) atau Arab Spring (2010), marak istilah fundamentalisme Islam.
Menurutnya, istilah radikalisme muncul lagi setelah peristiwa serangan gedung World Trade Centre di New York (2001) dan Bom Bali (2002). “Semuanya dikaitkan dengan terorisme. Itu stigma menyesatkan karena Islam mengajarkan perdamaian bukan kekerasan,” papar Sapto.
Untuk itu, Koalisi Masyarakat untuk Kebebasan Sipil mengajak seluruh elemen warga agar menyatakan sikap: #BersamaLawanTerorisme dalam segala bentuknya. Aksi teror tak hanya serangan bom ke rumah ibadah atau kantor polisi, melainkan penyerbuan ke kantor media massa atau tuntutan pembubaran ormas/partai politik tanpa bukti pelanggaran hukum, juga tergolong teror. Jika hal itu dibiarkan, maka akan memancing kekerasan lebih besar, karena ada kelompok yang merasa lebih berkuasa dari seluruh warga. (IP)