“Saya dulu bisa menyelesaikan kuliah program doktor di luar negeri pada usia 30 tahun karena berpikir radikal. Saya bertekad tidak akan pulang sebelum lulus doktor, meskipun harus berjuang keras dan belajar lebih disiplin daripada mahasiswa lain,” tambah Iqbal, alumni UIN Jakarta dan menamatkan program doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia dalam diskusi bertema “Menangkal Terorisme melalui Ketahanan Keluarga” hasil kerjasama dengan Pusat Advokasi Hukum dan HAM (Paham) Indonesia, Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan (LKSP), dan Center for Indonesian Reform (CIR).
Semua itu, tidak membuatnya terseret pada tindakan terorisme yang menggunakan kekerasan.
Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, menyatakan istilah radikal sudah terlanjur dimaknai negatif oleh media massa.
“Padahal, radikal tidak selalu berhubungan dengan terorisme karena radikal ada juga bermakna positif, terutama dalam dunia ilmiah,” Irfan mengakui dalam focus group discussion(FGD) yang diselenggarakan Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (ALPPIND)
Irfan yang juga guru besar UIN Alaudin Makasar itu menyatakan bahwa dia tidak setuju kalau Kerohanian Islam (Rohis) dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dicurigai atau dibatasi karena dicap radikal.
“Seharusnya dibina karena perannya sangat penting dalam membentuk kepribadian siswa/mahasiswa. Bagaimana mereka yang belajar agama, juga memahami pentingnya dasar negara dan pilar kehidupan berdemokrasi,” jelas Irfan.
Sapto Waluyo, Direktur CIR yang ikut memelopori terbentuknya gerakan #BersamaLawanTerorismemengungkapkan stigma radikalisme dan terorisme terhadap aktivis dan organisasi Islam sudah berlangsung lama.