Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menilai fungsi Densus 88 harus diubah dan diperbaiki, sehingga tidak merusak citra polisi. Alasannya, peran Densus 88 tidak lagi sebagai penyidik kasus, tapi lebih mirip paramiliter.
“Densus 88 perlu dibenahi. Sekarang fungsinya sudah jadi paramiliter. Sehingga peran TNI dikurangi, ” ujar Bambang kepada wartawan di Pressroom Gedung DPR, Jakarta, Rabu (4/4).
Terkait hal itu, ia mengusulkan agar fungsi kepolisian tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penguasa. “Kapolri seharusnya tidak ikut rapat kabinet. Karena rapat kabinet itu keputusan politik, ” katanya.
Akibatnya, terang Bambang, Kepolisian akan mudah terbawa atau ditarik-tarik oleh kepentingan politik, sebab dalam rapat kabinet, yang dikeluarkan itu keputusan politik. Padahal, polisi merupakan alat negera, bukan alat politik.
“Jadi polisi lebih baik di bawah departemen, sehingga polisi tidak perlu lagi ikut rapat kabinet untuk merumuskan kebijakan politik, karena bagaimana pun, jika Kapolri ikut dalam rapat kabinet, maka polisi akan terpengaruh dan kemungkinan dipolitisir pun besar, ” paparnya.
Sementara itu Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif menyatakan, Densus 88 tidak diperlukan lagi. “Densus 88 sebaiknya dibubarkan saja, karena kerjanya sering dapat tekanan Amerika Serikat (AS), ” ujar dia.
Oleh karena itu, ia setuju bila polri ke depan tidak di bawah komando presiden, tapi di bawah departemen.
Dalam kesempatan yang sama, bekas Kapolri Awaludin Jamin tidak setuju dengan usulan anggota dewan itu, karena usulan itu pernah dijalani tapi terus berganti sampai akhirnya berada di bawah presiden.
Kalau usulan itu diwujudkan, tambahnya, maka sama saja Kepolisian berjalan mundur. “Jangan asal rubah saja, dulu polisi pernah punya departemen sendiri, " kata Awaludin Jamin. (dina)