Pengamat Kebijakan Publik: DPD Tak Berhak Ikut Putuskan Undang-Undang

Pengamat kebijakan publik dari UGM Prof. Dr. Mihtah Toha menyatakan, keinginan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak agar memiliki hak yang sama dengan DPR, tidak tepat dan tidak relevan.

Menurutnya, upaya DPD untuk punya hak yang sama dengan DPR tak bisa dipenuhi. Dengan alasan, keberadaan legislatif sebagai pemegang kekuasaan pembuat kebijakan politik dan publik, yakni MPR, DPR, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang sama-sama berkantor di Senayan Jakarta, justru membingungkan, karena tidak sinerji dan berjalan sendiri-sendiri.

“Kalau mau menjadi senat yang kekuasaannya sama dengan DPR, maka utusan DPD itu harus dipilih melalui parpol. Bukan independen. Senat di Amerika Serikat itu mewakili negara bagian. Jadi, kalau DPD mau sama dengan DPR maka harus dipilih melalui parpol, dan itu artinya harus mengamandemen UUD 1945, ” ujar Prof. Dr. Miftah Thoha dalam diskusi “Membangun Hubungan Institusi Kenegaraan yang Koheren" di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Kamis (1/2).

Menurutnya, DPD memang bukan lembaga legislasi, melainkan penyalur aspirasi pemerintahan dan rakyat daerah, dan bertempat di daerah. Setidak-tidaknya posisinya seperti sekarang ini.

Namun, kalau DPD mau menjadi MPR (the upper house of the legislatures atau senat), Indonesia harus menganut bikameral.

Dengan demikian, sambung Miftah, Indonesia harusmemiliki dua kamar legislasi dan perwakilan rakyat. Yaitu DPR (the lower house-parlemen), dan DPD (the upper house) wakil rakyat di masing-masing daerah. Dengan begitu maka DPD akan mempunyai kekuasaan tertinggi dalam perundang-undangan mirip dengan MPR.

“Saya setuju bikameral, tapi bukan DPD yang menjadi the upper house, melainkan MPR. Namun susunan anggotanya tidak sebesar sekarang dan semuanya dipilih langsung, sehingga MPR bisa menjadi senat. Untuk itu DPD harus dihapus, ” kata Miftah. (dina)