Pengamat hukum A. Mukthie Fadjar menilai, dengan adanya UU otonomi NAD sebenarnya tidak diperlukan adanya nota kesepakatan (MoU) antara RI—GAM. Demikian pula tidak diperlukan RUU PA.
Alasannya, sambung dia, logikanya UU Keistimewaan Aceh plus UU Otonomi Khusus NAD itu sudah dianggap cukup, sehingga tidak diperlukan lagi MoU antara RI-GAM, apalagi RUU PA yang akan dijadikan UU PA. Demikian Mukthie Fadjar dalam diskusi di ruang Fraksi kebangkitan Bangsa (FKB) Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (7/3).
Terlepas dari pro-kontra dan konstitusionalisasi isi MOU RI—GAM itu, kata Mukthie, materi RUU PA yang akan disetujui DPR dan Presiden RI itu harus lebih maju daripada UU Keistimewaan Aceh.
Ia menambahkan, perdebatan materi RUU PA itu tidak boleh mundur ke substansi yang sudah dimuat dalam UU No.44/1999 (Keistimewaan Aceh) dan UU No.18/2001 (Otsus Aceh) dan lain-lain yang sudah mengakomodir semuanya itu.
“Kecuali jika RUU PA versi DPRD Aceh itu sengaja dibuat lebih dari sekadar otonomi seluas-luasnya plus keistimewaan plus otsus dan plus MoU RI—GAM,” kata Mukthie.
Oleh karena itu Mukthie mengingatkan agar rumusan-rumusan itu lebih jelas dan rinci tentang otsus, keistimewaan daerah, dan kekhususnan daerah sebagai penjabaran Pasal 18 ayat (5) dan Pasal 18 B ayat (1) UUD RI 1945 dalam sebuah UU organik agar penerapannya tetap dalam koridor NKRI sekaligus untuk mengantisipasi daerah-daerah lain yang akan menuntut keistimewaan yang sama dengan NAD.
Sementara itu, anggota Pansus RUU PA FKB Ida Fauziah menyatakan, dalam pembahasan dan perumusan RUU PA FKB akan menindaklanjuti himbauan Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). FKB DPR diminta untuk komitmen dan meneguhkan keutuhan NKRI dalam merumuskan RUU PA tersebut. “Setidak-tidaknya RUU PA itu jangan sampai melanggar UUD RI 1945,” kata anggota Komisi III DPR. (dina)