Perseteruan antara Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dengan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, hendaknya tidak diselesai dengan cara-cara politis tetapi dengan klarifikasi yang jelas.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi Hukum Nasional JE. Sahetapy di sela-sela peluncuran buku, di Hotel Nikko, Jakarta, Selasa (20/2).
"Masalah itu jangan diselesaikan secara politis atau dengan cara diam-diam, kongkalikong, nanti tahu-tahu sudah hilang, boleh juga kalau mau direshuffle, " ujarnya.
Ia menilai, kebanyakan menteri pada kabinet Indonesia Bersatu belum dapat mengembangkan budaya malu, jika merasa bersalah tanpa diminta langsung mengajukan pengunduran diri.
JE. Sahetapy menganggap, etika politik yang dilakukan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra yang melaporkan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki merupakan perbuatan yang memalukan, dan tidak pantas dilakukan oleh seorang yang mengerti hukum.
"Saya tidak tahu apakah ini balas dendam, karena berdasarkan pernyataan Pak Sudi (Sekretaris Kabinet), Yusrillah yang memberikan rekomendasi itu kepada SBY, " tandasnya.
Senada dengan itu, Pakar Hukum Adnan Buyung Nasution menegaskan, tindakan kedua pejabat negara itu sangat memalukan, padahal dalam kehidupan berpolitik di samping mengedepankan dasar hukum, tata krama secara moral dan etika juga harus menjadi perhatian.
"Seharusnya sebelum memeriksa Mensesneg, Ketua KPK bisa meminta izin atau memberitahuPresiden dulu, sehingga Yusril dapat menjalankan proses hukum itu sesuai dengan perintah atasannya, karena kesannya sebagai pembantu Presiden ia sudah teraniaya diperiksa selama delapan jam, "jelasnya.
Ia menyatakan, terlihat ada hubungan yang tidak harmonis antara pejabat negara, karenanya ini harus segera diselesaikan.
Adnan menambahkan, dalam penyelesaian masalah ini, hanya Presiden yang berhak meluruskan dan menyelesaikannya, karena penunjukan pengadaan alat penyadap KPK itu dilakukan atas perintah Presiden. (novel)