Dalam penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia, seharusnya Departemen Agama hanya bertindak sebagai regulator, dan bukan terlibat langsung dalam kegiatan yang bersifat teknis.
Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Haji Bahaudin Thonti dalam Dialog Publik, di Gedung DPDRI, Jakarta, Jum’at (12/1). "Muasassah itukan hanya yayasan tidak layak Departemen Agama tunduk pada kepada yayasan, " ujarnya.
Menurutnya, untuk pembenahan penyelenggaran ibadah haji, perlu dibentuk sebuah Badan Haji yang dapat bekerja secara independen. Sebab berdasarkan temuan dilapangan, banyak terjadi inefisiensi yang dibebankan pada jamaah.
Ia mencontohkan, untuk biaya sewa pemondokan sebesar 2.000 real per orang, tidak seluruhnya digunakan untuk pengadaan biaya pendukung fasilitas dan penunjang pemondokan. Untuk mendapatkan fasilitas itu, para jamaah haji dikenakan biaya tambahan, dan dalam rincian anggaran poin itu dicantumkan tersendiri.
Lebih lanjut Bahauddin menegaskan, kondisi tersebut menjadi penyebab biaya perjalanan ibadah haji di Indonesia lebih besar daripada Malaysia.
"Indonesia termasuk negara yang biaya hajinya paling mahal, selain itu juga service-nya juga tidak memuaskan, namun jamaahnya tetap sabar, " cetusnya.
Senada dengan itu, Anggota Amirul Haji Sudarsono menegaskan, bargaining position pemerintah Indonesia yang lemah juga menjadi salah satu penyebab tingginya biaya haji di Indonesia, serta menyebabkan mekanisme yang tidak lancar dalam pemulangan jamaah.
"Secara total untuk biaya katering di Armina (Arafah-Mina) saja, jamaah Malaysia hanya membayar 250 real, sedangkan jamaah dari Indonesia harus membayar 300 real, " jelasnya.
Ia meminta, agar pemerintah menata kembali jadwal persiapan atau kalender haji dalam negeri, sehingga jamaah haji Indonesia bisa mendapat fasilitas yang lebih baik dengan biaya yang lebih murah. (novel)