Terjadinya kekerasan dalam konflik tanah antara rakyat dengan TNI, pemerintah, dan pengusaha akhir-akhir ini akibat struktur ekonomi Indonesia masih mempertahankan warisan kolonial.
Demikian pengamat ekonomi dari UGM Yogyakarta Revrisond Baswier di Gedung DPR/MPR RI Jakarta.
Ironisnya, kata Revrisond, pasca reformasi 1998 silam sampai hari ini kebijakan pemerintah melalui produk Undang-Undang seperti UU Agraria, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Kehutanan, dan peraturan yang lain makin mempertegas dan mematangkan neokolonialisme kapitalis.
”Buku-buku yang dipelajari anak-anak di sekolah tidak ada yang mengoreksi kolonial. Itu bukti bahwa sekolah-sekolah sekarang ini menjadi pusat pengkaderan kolonialisme. Pelaku ekonomi pun dikuasai mafia Barkeley, yang pro Amerika Serikat, ” ujar Revrisond.
Hal serupa disampaikan anggota Komisi VII DPR Dr. Lalu Misbah. Ia menegaskan, pada prinsipnya pengelolaan tanah dan kekayaan bumi negeri ini harus bermuara untuk kesejahteraan rakyat.
”Kalau terbukti ada lingkungan yang rusak akibat pencemaran pertambangan, industri, dan atau perusahaan seharusnya diusut dulu pemerintah dan pengusaha yang merusak lingkungan tersebut sebelum merevisi UU Agraria, ” katanya.
Sementara, Ali Mubarak, anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB), menyatakan, masalah kesejahteraan rakyat sudah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun penjelasan dan tafsir dari Pasal 33 tersebut masih harus didefinisikan secara jelas dan konkret agar tidak disalahgunakan oleh penguasa.
Menurutnya, kekayaan alam yang ada di bumi selama ini selalu dikuasai oleh penguasa (pemerintah dan TNI/Polri) dan bukannya rakyat yang memiliki tanah. ”Bahkan kini orang asing bisa menguasai tanah dan kekayaan yang ada di bumi Indonesia, ” kata Ali Mubarak kecewa. (dina)