Pengamat Ekonomi: Kenaikan BBM Matikan Sektor Riil

Pengamat ekonomin Faisal Basri menyatakan, sektor ekonomi yangg mulai membaik baru sektor pasar modal dan indeks Bursa Efek Jakarta (BEJ). Tapi, di sektor lain semuanya babak belur. Hancurnya perekonomian itu, kata Faisal, terlihat sejak pemerintah menaikkan BBM.

“BBM ini ibarat drakula yang menghisap darah rakyat, sehingga rakyat tidak memiliki daya beli,”ujar Faisal Basri di Gedung MPR/DPR RI Jakarta dalam Seminar bertajuk “Manajemen Krisis—Sebuah Solusi keluar Dari Krisis Multidensi Di Indonesia” yang diselanggarakan F-KB DPR, Jakarta, Kamis (12/10).

Ia menambahkan, hal serupa terjadi pada sektor pertanian. Pemerintah sudah tahu produk tani meningkat tapi anehnya pemerintah impor beras. Demikian pula di bidang industri, ketenagakerjaan, Meneg ESDM Purnomo Yusgiantoro yang seharusnya bertanggungjawab terhadap lumpur Lapindo Sidoarjo Jatim malah membentuk Timnas Lapindo. “Timnas Lapindo itu kan sebagai wujud lari dari tanggungjawab,” sambungnya..

Parahnya, pemerintah lebih memeprtahankan stabilitas politik semu dengan image politik, karena terpilihnya SBY—JK juga atas dasar dibangunnya image politik tersebut. Mencermati kata Faisal, puluhan seniman dan tokoh-tokoh nasional di rumah Iwan Fals sempat melontarkan pertanyaan apakah perlu SBY—JK dicabut mandatnya di tengah jalan? Faisal menjawab, persoalannya bagaimana caranya mencabut mandat itu secara konstitusional.

Pengamat hukum Todung Mulya Lubis juga menilai sama. Di bidang hukum pemerintah juga tidak jelas visinya. Untuk itu ia berharap DPR juga aktif melahirkan UU untuk melengkapi kelemahan-kelemahan hukum dan penegak hukum yang ada. Misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan lain-lain yang kewenangannya telah dipangkas habis oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Hanya saja kesulitannya SBY—JK ini, katanya, ibarat dua matahari yang saling berebut untuk menonjolkan diri. Kalau ini berjalan terus Todung khawatir rakyat akan menjadi sandera dan itu akan merugikan negara. “Anehnya lagi meski sistem pemerintahan ini presidensil, tapi wajah parlemen sangat kuat. Bahkan yang berkuasa pun ramai-ramai menjadi oposisi. Padahal hampir semua Parpol kebagian kekuasaan,” tutur Todung.

Selain itu banyak pejabat yang tersandung korupsi pun masih dibiarkan menjabat. Sedangkan Mahkamah Agung dan Kejagung yang seharusnya menjadi harapan penegakan hukum terutama terkait HAM malah sebanyak 99 persen dibebaskan oleh MA.

Itu terjadi dalam kasus Timtim, Abepura, Lampung, Tanjungpriok, kasus Munir yang terbunuh tapi tanpa pembunuh. Ini secara tidak langsung merupakan penggembosan terhadap negara hukum. (dina)