Penangkapan Cyber Terorisme Jangan untuk Penuhi Kepentingan Barat

Penangkapan cyber terorism oleh aparat kepolisian jangan hanya sekadar memenuhi tuntutan dunia global atau Barat yang sedang gencar-gencarnya memerangi terorisme. Demikian ditegaskan Koordinator Pokja Infokom Komisi I DPR, Dedy Djamaludin Malik kepada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Kamis (24/8).

Menurutnya, kita berharap aparat tidak memaksakan diri dengan merasa seolah-olah Indonesia sukses perang melawan terorisme, hanya karena ingin mendapat bantuan dana dari luar negeri baik berupa teknis maupun finansial lainnya. Diakui sekarang ini tekanan kepada Indonesia agar memenuhi tuntutan global dalam memerangi terorisme sangat mencolok.

“Cyber terorisme itu belum ada undang-undangnya. Karenanya memerlukan kekhususan agar aparat yang menangkap disertai bukti-bukti dan fakta yang konkret dan tidak mengada-ngada. Dan, DPR berharap agar segera dibuat UU cyber crime atau cyber terorisme agar tuduhan dan proses penangkapannya tidak sembrono,” kata Djamaluddin Malik.

Ia menjelaskan, sejauh orang-orang yang dianggap cyber terorisme itu memiliki tingkat keahlian yang tinggi soal informasi teknologi atau malah sebaliknya, aparat bisa mengajak mereka untuk berbuat kebaikan untuk umat dengan teknologi canggih itu. “Yang jelas katanya, penangkapan cyber terorisme itu bisa bernuasa politis hanya untuk memenuhi tuntutan dunia global soal partisipasi Indonesia dalam memberantas terorisme,” kata politisi asal Partai Amanat Nasional (PAN).

Seperti diberitakan, Agung Prabowo alias Max Fiderman (24) harus rela ditahan di Rutan Mabes Polri. Mahasiswa Universitas Negeri Semarang ini ditangkap Polri pada 12 Agustus lalu karena diduga membantu tindak pidana terorisme melalui modus cyber terorisme.

Max membuat situs bernama www.ashar.net atas permintaan Agung Setiyadi, tersangka cyber terorisme lainnya yang juga dosen di Semarang. "Max sangat terkenal di dunia hacker," kata kepala Unit V Cyber Crime Direktorat II Bareskrim Mabes Polri Kombespol Petrus Goloce, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo III, Jakarta, Rabu (23/8) lalu.

Menurut pengakuan Max, pemuda ini hanya menyiapkan tempat, sedangkan yang mengisi adalah Abul Aziz (tersangka bom Bali II). Situs tersebut, lanjut Petrus, tidak mungkin dibuat orang Indonesia. Hal ini terlihat dari penggunaan kosa kata dalam www.anshar.net, yakni menggunakan kata-kata seperti semasa bayar, tembakan sahaja, dan semasa pejalan. "Ini kan bahasa Malayu–Malaysia, bukan bahasa Indonesia. (dina)