Kedua, presiden dan DPR disebut bersekongkol untuk memperlemah KPK melalui revisi UU KPK dan pemilihan komisioner yang kontroversial. Kebijakan itu dinilai mengancam pemberantasan korupsi dan kebebasan sipil.
Ketiga, GIAD juga menilai terjadi korupsi politik dan inefisiensi berkelanjutan, pelemahan KPK telah memberi pukulan telak pemberantasan korupsi. Keempat, kebebasan sipil berada dalam ancaman serius. Hal itu terlihat dari penangkapan dan intimidasi yang dialami para aktivis.
“Protes massa dihadapai dengan kekerasan, kritik dihadapi dengan ancaman pemidanaan, dan gerakan mahasiswa dirundung dengan penggembosan. Inilah salah satu titik nadir kebebasan sipil dua dekade terakhir,” turur GIAD.
Kelima, pengabaian hak asasi berlangsung terang benderang. Pemerintah tidak saja gagal memberi penghormatan dan perlindungan memadai terhadap HAM, tapi menjadi salah satu aktor pelanggar HAM lewat ancaman kebebasan sipil.
“Pelanggaran HAM masa lalu semakin jauh dari penyelesaian, bahkan terdapat kecenderungan untuk mengingkarinya secara ironis lewat tindakan-tindakan hukum,” ucap dia.
Dari catatan itu, GIAD memandang harus ada perubahan besar dalam pemerintahan. Kekuasaan gemuk dan memusat di sektor-sektor politik dan ekonomi melahirkan oligarkisme, yang kian sulit untuk ditaklukkan.
Selain revolusi mental dalam ruang-ruang kekuasaan, penguatan civil society menjadi kemendesakan bersama revitalisasi peran media massa. Sementara partai-partai politik menjadi bagian pembusukan demokrasi, perlu kekuatan penyeimbang yang dapat memberi energi perubahan menuju konsolidasi demokrasi. (*glr)