Karena itu, untuk merealisasikan pertumbuhan 5,4 persen pada tahun depan, diperlukan penerimaan negara yang jauh lebih besar dari tahun ini. Tentunya harus juga disertai upaya yang jauh lebih agresif dari tahun ini. Jika dilihat laju penerimaan saat ini, tidak sesui harapan.
Diketahui hingga September 2017 penerimaan pajak baru mencapai Rp 770 triliun, atau 60 persen dari target di APBN-P 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun.
“Tahun depan target pertumbuhan 5,4 persen. Saya pikir tidak akan dicapai kalau kondisinya masih seperti sekarang. Karena tahun ini saja target 5,2 persen, paling tercapai 5 persn saja,” kata Faisal.
Karena itu, dengan target pertumbuhan yang tinggi, beban bunga dan pokok utang yang kian memberatkan, serta tuntutan menyeimbangi dengan penerimaan negara baik melalui pajak, PNBB ataupun sumber lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani dinilai mengalami panik.
Hal ini tercermin dari upaya Sri Mulyani menggiring merevisi UU No 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang mana diantara isi revisi ini menyasar kepada sektor layanan publik yang memungut biaya nikah, cerai, dan rujuk.
Tidak hanya itu, revisi ini juga menyasar sektor kesehatan dan pendidikan. Pada sektor pendidikan misalnya: pemerintah memungut biaya ujian penjaringan masuk perguruan tinggi serta pelatihan-pelatihan.
“Asumsi pertumbuhan yang tinggi maka dipatok target penerimaan juga tinggi. Nah untuk memenuhi itu maka nyasar kemana-mana. Karena kalau tidak tercapai, ada potensi pemangkasan anggaran atau pelebaran utang. Defisit tahun ini yang 2,9 persen itu disumbangkan bunga utang dan pokok utang serta anggaran infrastruktur yang meningkat,” pungkas dia.(kl/akt)