Para pengguna jalan tol mengeluh tetapi tetap memakai tol karena tak ada pilihan lain. Sekitar enam bulan kemudian, pemerintah kembali menaikkan pajak bisnis tol, seratus persen lagi. Langkah ini membuat pihak swasta yang mengoperasikan jalan tol terpaksa menaikkan lagi tarifnya. Kenaikan kedua ini mulai membuat konsumen (pemakai) rewel. Mereka menyampaikan protes verbal. Mulai muncul beritanya di televisi dan media lain.
Namun, pemakai masih tetap menggunakan jalan tol karena masih bisa dipikul meskipun sudah mulai menguras dompet. Memakai jalan tol tetap lebih baik ketimbang menggunakan jalan biasa.
Setahun kemudian, pemerintah kembali menaikkan pajak yang sama. Kenaikan yang ketiga ini tak tanggung-tanggung: 300 persen. Akibatnya, tarif jalan tol naik drastis. Tarif tol dalam kota di Jakarta yang paling rendah menjadi 100 ribu, untuk ruas terpendek. Tol antarkota menjadi 350 ribu, untuk Jakarta-Cikampek.
Nah, inilah momen yang ditunggu-tunggu pemerintah untuk menunjukkan keperpihakannya kepada rakyat kecil. Para pengguna jalan tol tidak lagi ribut, tidak melancarkan protes. Mereka pasrah. Cuma, mereka tidak lagi menggunakan jalan tol. Hanya orang-orang superkaya saja yang masih memakai jalan tol.
Setelah menjadi sangat sepi dan hampir tidak ada lagi pengendara yang masuk, orang-orang kaya itu malah merasa takut menggunakan jalan tol. Akhirnya, seluruh jalan tol kosong.
Presiden mempersilakan rakyat yang berkendaraan sepeda-dayung dan sepeda-motor butut menggunakan jalan tol. Kecuali sepeda-motor mewah. Moge dan sepeda-motor tahun tinggi, dilarang. Betul-betul giliran rakyat kecil yang menikmati jalan tol. Rakyat pun senang luar biasa. Mereka bisa naik sepeda ke mana saja bebas hambatan dan mulus.