Disinggung mengenai pembiayaan ADS yang mencapai sekitar Rp 4 juta untuk setiap penderita difteri, Nila angkat bicara. Menurutnya ADS yang diberikan untuk penderita difteri di wilayah kejadian luar biasa (KLB) merupakan tanggung jawab pemerintah setempat. Pemerintah daerah yang dibebankan untuk membiayai ADS ini.
“Makanya saya minta tolong diperhatikan jangan sampai merugikan masyarakat,” katanya.
Nila menerangkan, selain memakan ongkos perawatan, difteri juga membutuhkan ongkos transportasi, hingga kerugian keluarganya yang terpaksa membolos bekerja karena mengantarkan penderita berobat. Untuk itu, Nila menekankan pentingnya masyarakat mendapatkan imunisasi untuk mencegah difteri.
Imunisasi untuk mencegah difteri, kata dia, sudah termasuk ke dalam program nasional imunisasi dasar lengkap. Ini meliputi tiga dosis imunisasi dasar Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis-B dan Haemofilus influensa tipe b (DPT-HB-Hib) pada usia 2, 3 dan 4 bulan, satu dosis imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib saat usia 18 bulan, satu dosis imunisasi lanjutan difteri tetanus (DT) bagi anak kelas 1 sekolah dasar (SD)/sederajat, satu dosis imunisasi lanjutan Tetanus difteri (Td) bagi anak kelas 2 SD/sederajat, dan satu dosis imunisasi lanjutan Td bagi anak kelas 5 SD/sederajat.
“Jadi, siap diimunisasi kan?” ujarnya.
Nila mengatakan, penderita yang suspek penyakit difteri akan mendapatkan antibiotik dan harus menjalani uji laboratorium. “Kemudian tentu dia diperiksa di laboratorium,” katanya.
Kalau hasilnya positif difteri, kata dia, maka penderita difteri ini akan mendapat ADS. Nila menyebut Kemenkes telah menghubungi Bio Farma yang menyediakan ADS. Ia menghitung, satu pasien yang terkena difteri ini harus mengeluarkan biaya untuk pemberian ADS seharga Rp 4 juta. Ia menyebut, pemerintah saat ini masih mengimpor ADS dari negara lain. (Tsc/Ram)