Pemerintah Harus Segera Tuntaskan Masalah Ahmadiyah

Akhirnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia/JAI (Ahmadiyah) resmi dinyatakan sebagai kelompok sesat. Kesimpulan ini disampaikan oleh Bakorpakem 16 April lalu setelah melakukan pemantauan selama tiga bulan. Ahmadiyah dinilai tidak melaksanakan 12 butir penjelasan yang disampaikan oleh PB JAI pada 14 Januari 2008 secara konsisten dan bertanggung jawab.

Bakorpakem berpendapat, Ahmadiyah telah melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang dianut Indonesia serta menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.

Bakorpakem merekomendasikan agar warga Ahmadiyah diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965. Apabila perintah dan peringatan keras sebagaimana tersebut pada butir tiga di atas tidak diindahkan, Bakorpakem merekomendasikan pembubaran organisasi Ahmadiyah dengan segala kegiatan dan ajarannya.

Ketua Bakorpakem, Whisnu Subroto, yang juga Jaksa Agung Muda Intelijen, memastikan rekomendasi Bakorpakem bersifat final. Artinya, Ahmadiyah tidak diberi kesempatan lagi bernegosiasi dan Bakorpakem tidak akan melakukan evaluasi tambahan atas pelaksanaan 12 butir PB JAI.

Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga JAI. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) diakui sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini bahwa Tadzkirah adalah penafsiran MGA terhadap al-Quran yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Pokok Masalah

Sejak awal Ahmadiyah memang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan menerima wahyu dari Allah. Dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa (2007) dijelaskan tentang kepercayaan kaum Ahmadi, yaitu, "Imam Mahdi dan Isa yang dijanjikan adalah seorang nabi, yang merupakan seorang nabi pengikut atau nabi ikutan, dengan ketaatannya kepada YM Rasulullah saw. yang akan datang dan mengubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang. Apabila Imam Mahdi itu sudah datang maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung salju." (hlm. 69).

Ditulis dalam buku tokoh Ahmadiyah tersebut, ”Dalam perkembangan sejarah, pada tahun 1879 Mirza Ghulam Ahmad as. menulis buku Braheen Ahmadiyya. Pada saat itu Mirza Ghulam Ahmad as. belum menyampaikan pendakwaan. Namun, ketika menulis kitab itu, ia sebenarnya sudah menerima wahyu. ‘Kamu itu nabi, kamu itu nabi!’ dan diperintahkan mengambil baiat, tetapi masih belum bersedia.” (hlm. 70).

Ahmadiyah memandang orang yang tidak mengimani kenabian Ghulam Ahmad sebagai orang sesat. Berkata Mirza Ghulam Ahmad, "Barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima Imam yang Dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian Jahiliah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mawahib al-Rahman).

Oleh sebab itulah, dalam shalat orang Ahmadiyah tidak boleh bermakmum kepada orang Islam lain, karena mereka dipandang ”belum beriman” kepada Mirza Ghulam Ahmad. Tentang masalah shalat ini dijelaskan dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa tersebut, ”Dasar pemikiran mengapa kalangan mereka harus yang menjadi imam, yaitu bagaimana mungkin bermakmum pada orang yang belum percaya kepada Imam Zaman, utusan Allah.” (hlm. 79-80).

Dengan keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, maka Ahmadiyah kemudian menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw. sesuai dengan keyakinan mereka.

Di Tanah Air, PBNU, sebagaimana dinyatakan KH Makruf Amin, sudah mengeluarkan fatwa sesat untuk Ahmadiyah pada 1995, yang mana ia ikut memutuskan waktu itu. Mantan Rais Aam PBNU (Alm.) KH Ahmad Siddiq juga pernah menulis risalah tentang kesesatan Ahmadiyah (www. nu.or.id, 4/1/2008). Dalam keputusan tahun 1937, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga mengutip hadis Rasulullah saw., ”Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.” (HR Ibn Mardawaih, dari Tsauban).

Ahmadiyah meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci. Pada lembar pertama Tadzkirah tertulis: Tadzkirah Wahyun Muqaddas, yakni wahyu yang suci. Dalam Tadzkirah ada ayat berbunyi, ”Katakanlah (wahai Mirza Ghulam Ahmad) jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu. Mudah-mudahan Tuhanmu melimpahkan rahmatnya kepadamu dan sekiranya kamu kembali pada kedurhakaan niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam bagi orang-orang kafir. Kami tidak mengutusmu (wahai Mirza Ghulam Ahmad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Katakanlah beramallah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku juga beramal. Kelak kamu akan mengetahui.”

Umat Islam tentu tak asing dengan redaksi ayat di atas. Ayat tersebut memang ada dalam QS Ali Imran ayat 31, QS al-Anbiya ayat 107, dan QS al-An’am ayat 135. Oleh Mirza Ghulam Ahmad (MGA), ketiga ayat tersebut digabungkan, dipotong sedikit, diotak-atik—seperti memasukkan namanya dalam tanda kurung—kemudian diklaim sebagai wahyu. Ayat gabungan itu ditulisnya dalam kitab Haqieqatul Wahyi halaman 82. Banyak ayat-ayat al-Quran yang diperlakukan seperti ini.

"Wahyu-wahyu" palsu itu lalu dikumpulkan dalam Tadzkirah. Tadzkirah yang lebih tebal daripada al-Quran itu dipenuhi ayat-ayat al-Quran yang dijiplak, diklaim, dan diputarbalikkan. Lihat pula klaimnya, "Al-Quran itu kitab Allah dan kalimah-kalimah yang keluar dari mulutku." (Istisfa, hlm. 81).

Oleh karena itu, tepat sekali keputusan Bakorpakem yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Ahmadiyah sudah diberi waktu 3 bulan untuk memperbaiki diri. Namun nyatanya, itu tidak dilakukan. Kepala Litbang Depag Prof. Atho Mudzar menilai pemantauan itu sendiri cukup serius. Satu pemantau rata-rata melakukan pengamatan tujuh hari di satu titik. Ada yang sampai menginap di komunitas itu. ”Teknisnya silaturahmi, wawancara dan mengamati kegiatan keseharian mereka. Kita ikut shalat dengan mereka, shalat Jumat bersama, mendengar azan mereka, dan sebagainya. Ditambah dengan pengumpulan data-data, ” katanya.

Oleh sebab itu, para tokoh umat harus mendukung keputusan Bakorpakem ini. Jika tidak, diduga ada pihak-pihak yang justru mengadu-domba mereka dalam kasus ini; termasuk asing.

Keputusan ini selaras dengan Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, dan keputusan

Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1985. Jadi, jika Ahmadiyah tetap menolak kembali ke jalan yang benar (rujû’ ilâ al-haq) dan meninggalkan semua keyakinan, paham dan ajaran Ahmadiyah, maka keputusan yang tepat untuk Ahmadiyah tidak lain: Harus dilarang dan dibubarkan!/ (Syahrizal Musa)