Para produsen obat mulai khawatir dengan program pemerintah tentang obat paket seribu rupiah, di mana di setiap obat akan dicantumkan harga eceran tertinggi (HET) seribu rupiah.
"Obat yang mahal saja belum tentu menyembuhkan ngapain beli obat seribu, jadi produsen yang sudah merasa untung puluhan tahun tidak rela dengan adanya obat seribu, "ujar Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, di sela-sela rapat kerja dengan Komisi IX, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/6).
Menurutnya, untuk daerah Jakarta sendiri sebenarnya obat murah ini sudah mulai beredar di pasaran, namun banyak spekulan yang membeli untuk kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi, Hal ini membuktikan bahwa produsen obat tidak suka dengan kehadiran obat murah dari pemerintah.
Lebih lanjut Siti Fadillah menegaskan, meskipun produsen obat menginginkan agar program obat seribu dibatalkan oleh pemerintah, namun pemerintah akan tetap meneruskan program tersebut, sebab kualitas obat yang akan dijual dengan harga murah itu tetap sama dengan yang beredar di toko obat.
"Bukan berarti program obat murah ini tidak bisa diteruskan, kita harus teruskan, dan kita sedang mengantisipasi dengan mekanisme seperti apa, misalnya obat murah ini kita salurkan melalui pos kesehatan desa atau menjual di warung-warung, " jelasnya.
Ia mengakui, untuk saat ini masih sulit untuk menemukan obat paket seribu, sebab masih dalam tahap sosialisasi, dan diharapkan 3-6 bulan ke depan peredarannya dapat merata di masyarakat.
Menkes menambahkan, program obat murah ini diperuntukan bagi masyarakat menengah, bukan masyarakat yang sangat miskin. Karena masyarakat sangat miskin sudah mendapat jaminan kesehatan dengan menggunakan kartu berobat.
"Obat-obat murah ini bukan untuk mereka yang sangat miskin, karena yang sangat miskin sudah mendapat jaminan. Tapi ini orang yang sadikin (sakit sedikit menjadi miskin), " tukasnya. (novel)