Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menyatakan, pemerintah tidak sinkron dalam menangani kasus mantan pemimpin rezim Orde Baru, Soeharto.
"Presiden Yudhoyono mengendapkan kasus Soeharto, Mensesneg merehabilitasi, dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Perintah penghentian Penyidikan (SP3) terhadap mantan Presiden Soeharto," papar Trimeya dalam rapat kerja dengan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di Gedung DPR-RI Jakarta, Senin (22/5).
Menurutnya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga tak memenuhi kesepakatan mengenai hasil kesimpulan rapat kerja sebelumnya yang meminta dirinya segera memeriksa kasus mantan Presiden Soeharto. "Kesimpulan rapat kerja itu mengikat dan harus dilaksanakan," tegasnya.
Seperti diketahui, kasus dugaan korupsi mantan orang kuat rezim Orde Baru itu mulai terungkap pada 1 September 1998 ketika Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto dari anggaran dasar lembaga tersebut. Pada 7 Desember 1998, Kejaksaan Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas Yayasan Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun.
Kejaksaan saat itu juga mengungkapkan penemuan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar di mana Rp 23 miliarnya tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektar atas nama Keluarga Cendana. Pada 28 September 2000, majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan.
Pada 12 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan SKPP yang isinya menghentikan penuntutan kasus dugaan korupsi Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. Sesuai pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa yang dalam keadaan tidak sehat maka tidak bisa diajukan ke persidangan.
Dengan terbitnya SKPP itu, status proses hukum Soeharto dinyatakan final dan penguasa Orde Baru itu bebas dari status "terdakwa"; kecuali bila ditemukan alasan berupa kesembuhan penyakit Soeharto barulah dia dapat diajukan ke persidangan lagi. (dina)