Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama (Depag) diminta tidak terpengaruh dengan pihak-pihak yang menolak surat peraturan bersama (SPB) tentang pendirian rumah ibahah. Alasannya, penyusunan dan perumusan SPB itu berdasarkan kesepakatan semua tokoh lintas agama. Seperti diketahui Persatuan Gereja Indonesia menolak SPB yang disosialisaikan pemerintah.
”Intinya tak boleh ada penolakan setelah kesepakatan itu. Kesepakatan itu adalah bentuk tenggang rasa semua pihak. Dalam SPB itu tak mungkin semua aspirasi bisa dipenuhi,” papar anggota Komisi VIII DH Al-Yusni di Jakarta, Senin (17/4/2006).
Menurutnya, SPB merupakan sebagai bentuk aspirasi dan isi hati semua pemeluk agama. Jadi SPB dibuat bukan hanya untuk orang Islam saja, atau hanya untuk Kristen dan umat lainnya.
Ia menambahkan, penolakan atas SPB yang telah disepakati bersama merupakan tindakan atau sikap yang tidak demokratis dan tidak menjunjung tinggi kebersamaan. ”Kalau ada penolakan ini sebagai indikasi demokrasi yang tidak fair,” tuturnya.
Ia mengingatkan, pada dasarnya penolakan PGI terhadap SPB akan merugikan bagi kalangan Kristen sendiri. Di negara-negara manapun soal pendirian rumah ibadah itu diatur oleh negara. ”Di negara-negara maju pun pendirian rumah ibadah ada aturannya,” terang dia.
Ditegaskan anggota DPR dari PKS ini, jika PGI masih belum mau merima kesepakatan yang tertuang dalam SPB, sebaiknya PGI menyampaikan keberatan-keberatan itu kepada pemerintah. ”seharusnya mereka menempuh jalur konstitusional,” saran Al-Yusni.
Bila PGI tak sepakat dengan SPB itu, seharusnya dilakukannya sejak semula. Yakni, dengan cara tidak mau membahas dan menyepakati SPB saat masih digodok oleh pemerintah dan tokoh masyarakat, katanya. (dina)