Pemerintah diminta mengkaji ulang alokasi subsidi BBM dalam APBN sebesar 54,3 trilyun rupiah, sebab BP Migas telah memprediksikan bahwa konsumsi BBM bersubsidi untuk tahun 2006 akan mengalami penurunan, sehingga terbuka peluang penghematan dalam APBN 2006 dari subsidi BBM sebesar 12 trilyun rupiah.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Divisi Penelitian LP3ES Pri Agung Rakhmanto dalam jumpa pers, di Kantor Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan, Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta, Kamis (22/6).
"Perkembangan kondisi makro ekonomi sampai akhir 2006, memberi peluang untuk melakukan penghematan," katanya.
Menurutnya, berdasarkan data dan perhitungan LP3ES, harga bensin premium sampai dengan bulan Desember 2005, Januari dan Maret 2006 sudah mencapai tingkat harga keekonomiannya, dalam arti sudah mencakup harga BBM non subsidi ditambah dengan keuntungan dan biaya operasionalnya, serta sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden No.55 tahun 2005 tentang harga BBM eceran dalam negeri.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, mengacu pada ketentuan tersebut, seharusnya harga BBM Industri bisa 6 persen sampai 9 persen lebih rendah dari pada yang berlaku saat ini, sehingga bisa meningkatkan kembali daya saing dan daya tahan industri dalam negeri.
Di tempat yang sama, direktur LP3ES Suhardi Suryadi menilai, penentuan harga BBM yang diberlakukan saat ini tidak jelas dan tidak transparan, hal itu dibuktikan dari temuan di Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas), yang menaikan biaya distribusi pengadaan BBM bersubsidi.
"Problem harga BBM seperti "hantu", yang tidak dapat ditebak kapan naik, kapan juga akan turun, ada kesan seenaknya menaikan harga BBM, padahal BBM merupakan produk publik,"tegasnya.
Oleh karena itu, Ia meminta agar pertamina lebih transparan dalam menetapkan harga BBM, sebab sudah selayaknya masyarakat mengetahui perubahan ini.(novel)