Pemerintah Didesak Tidak Tebang Pilih Berantas Korupsi

Pemerintah didesak tidak tebang pilih dalam menangani tindak korupsi yang dilakukan kepala daerah. Jika terjadi tebang pilih, aparat hukum bisa dianggap melanggar UU No.32/2004.

“Aparat hukum setempat bisa dituduh melanggar UU tersebut jika membiarkan kasus korupsi meskipun pelakunya kepala daerah setempat,” ujar anggota Komisi III DPR RI dari FPBR Anhar Anhar kepada wartawan di DPR RI Jakarta, Rabu (14/6).

Menurutnya, pemberantasan korupsi di Indonesia terkesan masih tebang pilih. Buktinya,banyak kasus dugaan korupsi berlarut-larut penanganannya hanya karena belum ada izin pemeriksaan dari presiden. Misalnya, kasus dugaan korupsi bupati Siemelue, Drs Darmili. Polda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hingga sekarang belum dapat melanjutkan penyidikan hanya karena izin presiden belum turun. Padahal Kapolda maupun Kapolri dalam raker menyatakan sudah mengirimkan surat pada presiden untuk meminta izin pemeriksaan terhadap Darmili.

“Saya mendapat informasi hingga sekarang izin pemeriksaan terhadap bupati Siemelue belum turun. Yang jadi masalah interval waktu surat permohonan Kapolri sejak diterima oleh Sekretariat Negara lamanya sudah 60 hari,” ucapnya.

Tenggang waktu membiarkan kasus itu, lanjutnya, akan membuat aparat hukum melanggar UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 36 ayat (2).

Pasal itu dengan tegas menyatakan, bahwa, “dalam hal persetujuan tertulis sebagimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.”

“Sehubungan dengan amanat UU tersebut, saya mendapat informasi Kapolda NAD sudah mengirim urat ke Kapolri dan Kabareskrim tanggal 12 Juni 2006 untuk menanyakan langkah Mabes Polri menangani kelanjutan kasus dugaan korupsi bupati Siemelue. Jauh sebelumnya saya juga sudahmengirimkan surat pada presiden mempertanyakan surat izin pemeriksaan terhadap Darmili,” papar Anhar.

Kasus dugaan korupsi Darmili, antara lain, penggunaan dana Rp 52 miliar oleh perusahan daerah Kabupaten Siemelue berupa perkebunan kelapa sawit melalui dana APBD tahun 2002, 2003, 2004 dankhusus tahun 2005 sebesar 15 miliar hingga kini penggunaannya tidak jelas. Penggunaan itu belum dilaporkan ke DPRD. Kasus ini sedang ditangani Kapoda NAD menunggu izin pemeriksaan dari presiden.

Selain itu dugaan korupsi lainnya adalah penyalahgunaan bantuan bencana alam Rp 42 miliar tahun 2003 dan 2004 yang tidak jelas, bantuan MenkoPolkam untuk tugu NKRI Rp 3 miliar dan menerima bantuan dana bantuan antisipasi GAM Rp 10 miliar.

Ironisnya setelah dikonfirmasi kepada Ketua DPRD Tk II siemelue, Muhammad Daud Syah menyatakan, keberaadaan dana tersebut tidak diketahui. (dina)