Baru saja genap satu tahun bencana besar gempa dan tsunami di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, kembali bencana demi bencana datang dan merenggut korban jiwa. Pulau Jawa, sebuah pulau dengan kepadatan yang tinggi, 65% dari 206.264.595 penduduk Indonesia (BPS, 2000) tinggal di atasnya.
Di awali dengan kejadian banjir longsor di Jember, tercatat 90 korban meninggal dan lebih dari 400 rumah hancur. Disusul bencana terjadi di Purworejo dengan 2 korban jiwa serta Banjarnegara dengan korban lebih banyak lagi. 112 kepala keluarga terbenam timbunan tanah akibat ambrolnya bukit Pawinihan.
Atas tragedi tersebut, Koalisi Rakyat Untuk Bencana yang terdiri atas WALHI, Komite Pembaharuan Agraria (KPA), Komite Anti Utang (KAU), Yayasan Lembaga Bantaun Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan lainnya menuntut pemerintah untuk melakukan pemetaan kawasan-kawasan rawan bencana secara detil dan mendistribusikannya kepada masyarakat. Di tingkat propinsi, paling tidak harus ada peta 1: 50.000 dan ditingkat kabupaten dengan skala 1: 10.000 atau lebih besar.
"Pemerintah harus memfasilitasi penuh komunitas rentan dari ancaman bencana untuk melakukan berbagai upaya mitigasi dan kesiapsiagaan serta berbagai aktifitas peningkatan pengetahuan dan kapasitas menghadapi ancaman bencana," ujar Chalid Muhammad, Koordinator WALHI, di Kantor WALHI, Jl. Tegal Parang, Jakarta, Rabu (11/2).
Menurut Chalid, sudah saatnya setiap daerah kabupaten untuk mengkoordinisasikan lintas aktor dan sektor serta menyusun perencanaan terpadu kesiapsiagaan atas terjadinya bencana (contingency planning) serta merevisi anggaran penanggungan bencana
Sedangkan untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah harus segera melakukan tindakan strategis. Misalnya, kata Chalid, segera dilakukan pemetaan kawasan hutan-hutan yang dikuasi perhutani dan meredistribusi lahan-lahannya kepada petani pada lahan di bawah kemiringan 30% serta merubah pola tanam dan jenis serta sistem pengelolaan hutan pada lahan dengan kemiringan 30% ke atas. Memberikan akses pemanfaatan kepada masyarakat tempatan dari hasil non kayu.
Selain itu, pemerintah harus melakukan evaluasi dan revisi penataan dan pemanfaatan ruang dengan pendekatan pengelolaan risiko dan dampak bencana. "Sudah saatnya merevisi dan membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap lingkungan dan rakyat berdimensi kerakyatan," terang Chalid.
Dijelaskannya, prediksi bahaya baik akibat dari alam maupun degradasi lingkungan karena salah kelola telah cukup lama dibuat pemerintah sendiri. Tercatat, tahun 1990, pemerintah melalui Departemen Transmigrasi telah mengeluarkan Atlas, tinjauan sumberdaya lahan seluruh wilayah Indonesia. Di dalamnya, terdapat peta rawan bencana.
Departemen lain seperti Pekerjaan Umum (PU)serta non departemen seperti Lapan, Bakorsurtanal, BMG dan Bakornas pun telah memproduksi peta yang memuat daerah-daerah rawan bencana. Namun, upaya tersebut hanya berhenti sampai pada pemetaan. Tidak ada upaya menindak lanjuti data yang mengancam keselamatan penduduk, jiwa dan aset-aset kehidupannya. Tidak juga digunakan sebagai upaya mereduksi risiko dan dampak yang ditimbulkan dari bahaya tersebut.
Kemiskinan yang melilit sebagian besar penduduk Indonesia, semakin mempertinggi tingkat kerentanan dari ancaman bahaya. Upaya mempertahan hidup tanpa difasilitasi negara memaksa banyak masyarakat memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya.
"Pengetahuan yang minim, tidak sampainya informasi situasi dan kondisi kerawanan dan ancaman serta ketimpangan penegakan hukum atas pemanfaatan SDA mendorong tingginya tingkat pelanggaran yang berujung pada rusaknya ekologi. " (dina)