eramuslim.com – Pegiat media sosial Lukman Simandjuntak menilai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memainkan peran paling tersakiti dengan menyebut sedih ditinggalkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Lukman merasa PDIP belajar dari Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono di 2004 dengan tidak langsung memecat Jokowi, namun menyatakan rasa sakitnya agar dianggap sebagai korban.
“Strategi playing victim SBY di 2004 untuk raih simpati/suara saat dipecat Mega berhasil raih kemenangan. Belajar dari kasus SBY, sekarang PDIP tidak langsung pecat Jokowi,” ungkapnya.
“Tapi mainkan peran seakan paling tersakiti di dunia, kalau kata sedih/luka gagal, Hasto akan gunakan kata sakti mencr*t,” imbuhnya dikutip populis.id dari akun X pribadinya, Senin (30/10).
Untuk diketahui, pada tahun 2004, SBY mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, berdasarkan isu yang merebak alasannya adalah didzalimi Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai presiden.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto mengaku PDIP tengah dilanda kesedihan karena merasa ditinggalkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku kader.
Padahal, kata Hasto, PDIP selama ini telah memberikan privilese kepada orang nomor satu di Indonesia itu, termasuk keluarganya.
Melalui keterangan tertulis, mulanya Hasto menyampaikan tentang suasana di internal PDIP. Ia berujar PDI Perjuangan saat ini dalam suasana sedih, luka hati yang perih, dan berpasrah pada Tuhan dan rakyat Indonesia atas apa yang terjadi saat ini.
“Ketika DPP partai bertemu dengan jajaran anak ranting dan ranting sebagai struktur partai paling bawah, banyak yang tidak percaya bahwa ini bisa terjadi,” kata Hasto, Minggu (29/10/2023) dikutip dari Suara.
Ia lantas berbicara mengenai privilese yang telah diberikan PDIP kepada Jokowi. Menurutnya PDIP begitu mencintai Jokowi.
“Kami begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranatan kebaikan dan konstitusi,” beber Hasto.
“Pada awalnya kami hanya berdoa agar hal tersebut tidak terjadi, namun ternyata itu benar-benar terjadi,” tambahnya.
Menurut Hasto, pada awalnya PDIP memilih diam. Tetapi kemudian berani mengungkapkan setelah mendengar apa yang disampaikan sejumlah tokoh, di antaranya Butet Kartaredjasa, Goenawan Muhammad, Eep Syaifullah, Hamid Awaludin, Airlangga Pribadi dan lain-lain beserta para ahli hukum tata negara, tokoh pro demokrasi dan gerakan civil society.
“Akhirnya kami berani mengungkapkan perasaan kami,” ucap Hasto.
PDIP, kata dia, percaya bahwa Indonesia ini negeri di mana rakyatnya bertaqwa kepada Tuhan. Indonesia negeri spiritual. Di sini moralitas, nilai kebenaran, kesetiaan sangat dikedepankan.
“Apa yang terjadi dengan seluruh mata rantai pencalonan Mas Gibran, sebenarnya adalah political disobidience terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia. Kesemuanya dipadukan dengan rekayasa hukum di MK. Saya sendiri menerima pengakuan dari beberapa ketua umum partai politik yang merasa kartu truf-nya dipegang. Ada yang mengatakan life time saya hanya harian; lalu ada yang mengatakan kerasnya tekanan kekuasaan,” tuturnya.
(Sumber: Populis)