PBNU menolak perederan majalah Playboy terbitan Amerika untuk edisi Indonesia, Maret mendatang. Karena penerbitan itu bisa membuka peluang kebebasan seks (free seks) yang justru akan menghancurkan karakter bangsa dan menumbuhkan hedonisme masyarakat.
“Kami meminta pada pihak-pihak yang berwenang yang mengeluarkan izin, untuk tidak merekomendasikan peredaran majalah Playboy itu. Begitu juga kalau pihak penerbit yang berkompeten diminta untuk membatalkan rencana penerbitan playboy tersebut harus dipatuhi,” tegas Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi seusai menerima kunjungan Komunitas Mantan Pemain Bulu Tangkis Indonesia di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (18/1).
Menurutnya, jika pemerintah tetap memberikan peluang untuk peredaran majalah tersebut ia menganggap hal itu sama saja melegal–formalkan pornografi di Indonesia. Pemberantasan pornografi tidak semata-mata pada persoalan seksual saja, tapi juga industri seksualitas yang sudah begitu besar di dunia. Karena itu kalau kita tolak pasti orang-orang yang sudah biasa mengelola industri ponnografi itu akan kalang kabut.
Selain kepada pemerintah, PBNU juga meminta kepada DPR RI dan ormas-ormas agama Islam maupun ormas non muslim untuk menyamakan visi dalam menolak peredaran majalah Playboy tersebut. Bagaimana kalau mereka terus menerbitkannya? Hasyim menegaskan dirinya akan mendemo penerbit dan agen-agennya. “Demo saja mereka itu biar kapok,” harap Muzadi.
Dalam Muktamar Muslimat NU Maret 2006 mendatang Ketua Umum PBNU itu juga akan meminta agar dicanangkan pemberantasan pornografi itu sama beratnya dengan pemberantasan korupsi. “PBNU dan Muhammadiyah sudah melakukan aksi bersama untuk pemberantasan korupsi, sehingga kini saatnya untuk sama-sama memberantas pornografi,” sarannya.
Hal serupa disampaikan anggota DPD RI asal Jatim KH. A. Mujib Imron. Ia menyatakan, masuknya Playboy itu sebagai bukti bangsa ini telah dijajah oleh Barat. Apalagi maih banyak tokoh dan artis yang belum memahami UUD Negara RI 1945 secara benar. Untuk pornografi dan pornoaksi misalnya sudah jelas pada Pasal 1 (1), 28 (1), Pasal 31 (5), dan Pasal 32 (1) yang pada prinsipnya dalam penegakan HAM, agama itu termasuk di dalamnya di mana menutup aurat itu kewajiban agama. Jadi, Playboy ini mengganggu kehidupan beragama.
Pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Pasal 31 (5) pemerintah memajukan Iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Sedangkan dalam Pasal 28 G (1), setiap orang harus mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, berhak atas rasa aman, perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu juga merupakan hak asasi di mana setiap orang wajib menghormati orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Anehnya pemerintah seolah membiarkan penjajahan budaya Barat ini. Padahal sangat merugikan Negara dengan timbulnya kekerasan—pemerkosaan terhadap perempuan, perselingkuhan, dan eksploitasi perempuan lainnya dan ini pelanggaran HAM,” sambung Gus Mujib lagi dengan menambahkan mengapa LSM perempuan dan gender tidak bersuara dalam kasus Playboy yang justru merugikan dan mengkeksploitir kaum perempuan itu. (dina)