Lebaran tahun ini urung digelar berbarengan lantaran hilal belum mencapai batas minimal, yakni dua derajat. Akhirnya, Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas lain seperti Persatuan Islam (Persis) menyatakan bahwa 1 Syawal harus diundur hingga 31 Agustus. Lantas, dari manakah asal-usul batas dua derajat tersebut?
Ketua PP Muhammadiyah Fatah Wibisono menjelaskan, dua derajat tidak menjadi acuan sejak lama, melainkan baru-baru saja. Seingatnya, pakem dua derajat itu diberlakukan tidak jauh dari 2001. Sebab, saat 2001 penentuan Idul Adha dipastikan dari posisi hilal yang hanya satu derajat. "Saat itu tim rukyatnya dari Blitar," ujarnya.
Nah, setelah itu seingatnya baru ada kesepakatan penggunaan ukuran dua derajat. Hal tersebut lantas disepakati negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Namun, dia kaget karena pada Lebaran kemarin negara-negara tersebut malah meninggalkan Indonesia.
Sejak kesepakatan itu, aturan dua derajat kerap digunakan Indonesia dan negara-negara ASEAN. Dia berharap, aturan dua derajat tersebut bisa luwes. Sebab, perbedaan kemarin terjadi karena adanya aturan itu. Dia yakin Lebaran tidak akan banyak perbedaan kalau aturan tersebut bisa lebih luwes.
Muhammadiyah tidak mempermasalahkan ketinggian hilal karena selama bulan muncul berarti sudah masuk hitungan bulan baru. Batasan dua derajat juga bukan tanpa masalah. Misalnya, cuaca menghalangi penampakan hilal, padahal bulan sebenarnya sudah cukup tinggi. "Jangankan baru 1,5 derajat, 1 derajat atau 0,5 derajat pun kemunculan hilal, bagi kami, sudah masuk bulan baru," jelasnya.
Ketua Lajnah Falakiah PB NU Ahmad Ghazalie Masroeri mengatakan, sejatinya ukuran dua derajat hanya dimaksudkan untuk memudahkan. Detailnya adalah posisi hilal dua derajat, jarak antara matahari dan bulan tiga derajat, dan umur bulan tampak selama delapan jam.
"Sebenarnya kami tidak mematok harus dua derajat, tapi biasanya jika di bawah dua derajat, hilal cenderung tidak terlihat. Kalapun terlihat, wujudnya tidak jelas dan bisa menimbulkan keraguan," kata Ghazalie.
Namun, lanjut dia, mereka tidak kaku harus dua derajat. Yang penting, hilal bisa dilihat dengan jelas. Bahkan terkadang, meskipun posisi hilal lebih dari dua derajat, jika tetap tidak bisa dilihat, baik dengan mata telanjang maupun melalui alat, mereka tak bisa mengatakan bahwa telah terjadi pergantian bulan.
Ghazalie mengatakan, sejatinya NU juga menggunakan hisab. Namun, rukyatulhilal (melihat bulan) tetap harus dilakukan untuk memverifikasi kepastian pergantian bulan. Mereka juga sudah memiliki almanak penanggalan Islam. Namun, mereka tak mau hanya mengandalkan metode tersebut.
"Meskipun hampir 100 persen selalu cocok, setiap bulan kami harus memverifikasi dengan rukyatulhilal untuk memastikan apakah memang benar almanak berdasar hisab itu. NASA (Lembaga Penerbangan dan Astronomi Amerika Serikat, Red) setiap malam memantau benda-benda langit untuk mengoreksi hasil penelitian mereka," ujar Ghazalie.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin menyayangkan keputusan sidang istbat menteri agama yang sepertinya hanya melegitimasi keputusan pemerintah tanpa mempertimbangkan pendapat yang berbeda. Din juga menyayangkan dalam sidang kemarin yang tidak mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut. Juga, menolak ketika ada yang mengatakan melihat hilal. Hal itu bisa dianggap bahwa pemerintah memaksakan keputusannya.
"Pemerintah seharusnya berdiri bagi semua umat, bukan sebagian golongan saja," ujar Din saat menjadi khotib salat Idul Fitri di Alun-Alun Utara Jogjakarta Selasa (30/8).
Menurut dia, bukan wewenang pemerintah menentukan awal puasa atau Idul Fitri. Pemerintah hanya memfasilitasi seluruh umat dalam beribadah. "Pemerintah bisa menentukan waktu libur Lebaran, tapi tidak menentukan kapan Lebaran," kata Din.
Din menambahkan, pemerintah bisa disebut inkonstitusional jika memaksakan keputusan atau tidak memfasilitasi umat yang berbeda dalam pelaksanaan ibadah. (pz/jpnn)