Bukan hanya para menteri yang was-was dengan RUU Kementerian Negara (KN), tapi Partai Demokrat juga gerah. Karena itu, partai yang didirikan Presiden SBY ini mendesak agar RUU Kementerian Negara dibatalkan.
Salah seorang petinggi Partai Demokrat mengatakan, pihaknya akan all-out untuk menggagalkan pembahasan RUU Kemementerian Negara dalam Pansus yang dipimpin anggota dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunadjar Sudarsa. "Ya boleh-boleh saja RUU ini jalan, tapi tidak boleh ada intervensi terhadap hak presiden. Jangan yang sudah domain pemerintah dicampuri lembaga lain, " tegas di Gedung DPR, Selasa (6/3).
Menurut Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarif Hassan, tanpa persetujuan dari pemerintah, RUU Kementerian Negara tidak bisa dilanjutkan. "Saya kira (RUU Kementerian Negara) itu tidak perlu dilanjutkan lagi dan bagusnya dibatalkan saja, " ujar Syarif.
Politisi senior Demokrat ini mengakui, memang dibutuhkan UU yang mengatur kementerian sesuai yang diamanatkan Pasal 17 ayat 4 UUD 1945. Namun, lanjut dia, jangan sampai UU itu membatasi hak presiden. ”Apalagi di UUD 1945 juga diatur soal hak prerogratif. Masak satu kaki dilepas, satu kaki lainnya diikat, ” tambah dia.
Ditanya soal batas waktu yang diajukan Pansus RUU Kementerian Negara DPR yang tinggal sepekan lagi, agar pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Syarif berkilah, hal itu tergantung kesiapan pemerintah sendiri.
”Pokoknya jangan sampai ada institusi lain yang campuri hak prerogratif presiden seperti yang termuat di RUU itu, misalnya aturan pembentukan menteri harus izin, proper test, dan disetujui DPR, ” tegasnya.
Ia berpendapat, kesulitan lain jika RUU versi DPR itu diberlakukan adalah jika nanti seorang menteri sudah tak diinginkan lagi oleh presiden, akan sulit jika ingin cepat diberhentikan. ”Karena harus minta izin dulu ke DPR, ini bisa berlangsung lama atau berlarut-larut, ” imbuh Syarif.
Syarif menegaskan, sistem yang dianut negara Indonesia saat ini adalah presidensil dan bukan parlementer. ”Apalagi belum-belum sudah muncul wacana lain yakni soal lembaga kepresidenan. Apa nanti presiden harus diatur DPR, kalau seperti itu apa memang sudah mau menjadikan mekanisme baru atau sistem baru di Indonesia, ” tandasnya. (dina)