Parah! Gugatan MK soal Usia Capres-Cawapres Rupanya Tak Ditandatangani Pemohon Ataupun Kuasa Hukum

eramuslim.com – Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani membeberkan temuan soal persyaratan dari gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas minimum usia capres-cawapres yang dianggap memuat konflik kepentingan.

Dokumen tersebut didapatkan PBHI langsung dari situs resmi MK dan dipaparkan di dalam persidangan.

Hal ini disampaikan Julius sebagai pelapor dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara dan pedoman kode etik hakim yang digelar di Gedung MK, Jakarta Kamis 2 November 2023.

Dalam sidang pemeriksaan, terungkap bahwa dokumen perbaikan permohonan yang dilayangkan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru tersebut tak ditandatangani kuasa hukum maupun Almas sendiri.

“Kami berharap ini juga diperiksa. Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya,” ungkap Ketua PBHI Julius Ibrani dikutip dari YouTube MK pada Kamis 2 November 2023.

Padahal, selama ini MK menjadi pionir sekaligus teladan dalam pemeriksaan persidangan yang begitu disiplin, termasuk dalam hal tertib administratif. Sehingga, temuan dokumen perbaikan permohonan yang tidak ditandatangani itu menjadi suatu kejanggalan.

“Kami mendapatkan satu catatan, dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya,” ucap dia.

Untuk diketahui, dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan kontroversial.

Dalam putusan MK nomor 90 memang terdapat banyak kejanggalan. Yang pertama, dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.

Melalui putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Padahal, tiga putusan sebelumnya di hari yang sama, MK menolak seluruhnya tiga gugatan terkait perkara batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun. MK secara eksplisit, lugas, dan tegas, menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7 Nomor 2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya

Kejanggalan yang kedua, terkait dengan legal standing pemohon lemah. Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil ini bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, sehingga tidak relevan diberikan kedudukan hukum/legal standing, untuk bertindak sebagai pemohon.

Dalam permohonan ini Almas Tsaqibbiru Re A tidak dirugikan konstitusionalnya secara pribadi. Almas mengaku sebagai pengagum Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, hal ini disampaikan Almas dalam permohonannya.

Kemudian, kejanggalan yang ketiga adalah kemunculan Anwar Usman dalam gugatan perkara no 90 dan no 91. Awalnya pada putusan perkara gugatan gelombang pertama Ketua MK Anwar Usman yang juga adik ipar Presiden Jokowi ini tidak ikut memutus perkara. Ketidakhadiran dirinya berbuah putusan perkara ditolak dengan komposisi enam hakim menolak dan dua hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion.

Namun, pada perkara nomor 90 dan 91, Anwar Usman tiba-tiba ikut membahas dan ikut memutus perkara tersebut. Padahal isu konstitusionalnya sama dengan perkara gelombang pertama. Kehadiran Anwar Usman tidak hanya menambah jumlah hakim pemutus perkara tapi juga mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan sebagian permohonan. Hasilnya, perkara nomor 90 dikabulkan sebagian.

Kejanggalan berikutnya, putusan bisa dianggap cacat hukum karena ada dugaan penyelundupan hukum. Putusan MK no 90/PUU-XXI/2023 problematik, karena diduga mengandung satu cacat hukum serius dan mengandung upaya penyelundupan hukum.

Sebab dalam permusyawaratan hakim yang diketuai Anwar Usman menyebut bahwa ada 5 hakim mengabulkan dan 4 disenting opinion. Terjadi perbedaan dari 5 hakim yang setuju mengabulkan.

3 hakim di antaranya sepakat menerima petitum/tuntutan pemohon. Namun 2 hakim hanya setuju dengan frase usia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur.

Dalam argumen yang dirumuskan, di dalam concurring opinion bukanlah concurring tetapi itu dissenting opinion. Sehingga komposisinya, 6 disenting opinion dan hanyak 3 hakim yang mengabulkan. Namun, pada kenyataannya putusan MK menyebut 5 hakim setuju dan 4 disenting opinion.

Padahal pendapat Hakim Enny dan Daniel Foekh tidak setuju fase untuk seluruh kepala daerah. Enny membatasi hanya sepanjang yang bersangkutan gubernur dan mesti diatur lebih lanjut oleh pembentuk Undang-udang. Sedangkan, hakim Foekh mengatakan setuju hanya fase gubernur tanpa ada penjelasan lebih lanjut dari pembentuk undang-undang.

Sementara itu, Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.

Hingga kini, MK telah menerima secara resmi 20 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan semua hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk MKMK.

MKMK menyatakan bakal membacakan putusan paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI. (sumber: terkini)

Beri Komentar