Nama penemu (ilmuan/saintis) lampu listrik, Thomas Alfa Edison, seolah sebagai cahaya bagi kehidupan. Ia disanjung-sanjung, dipuji, dan dijadikan rujukan sebagian kalangan untuk menyakini bahwa seorang Muslim tanpa iman tetap akan diangkat derajatnya oleh Allah Swt. Sang Pencipta alam sebagaimana Edison. Alasannnya cukup sederhana, ia dianggap berjasa kepada dunia dengan lampu listriknya. Karena itu oleh sebagian kalangan sarjana Muslim, “hasil karyanya” Edison dinilai sebagai amal saleh.
Inilah sebuah kerancuan berfikir yang lazim terjadi di kalangan mereka. Bagi mereka, amal perbuatan orang-orang kafir yang memberikan manfaat bagi kehidupan dunia, maka itu termasuk kebajikan (al-khair), yang layak mendapatkan pahala sebagaimana orang Muslim, kendati ia tidak beriman kepada Allah. Tak hanya itu. Mereka juga yakin para saintis kafir itu derajatnya diangkat oleh-Nya.
Pikiran dan keyakinan demikian juga menjalar di kalangan para calon sarjana. Karena itu, bagi mereka, bukan hal yang aneh bila tak menjalankan shalat wajib, shaum Ramadhan, atau ibadah-ibadah lainnya. Demikian pula mabuk atau sejenisnya bukanlah dosa yang harus dihindari. Mereka berani bersikap seperti itu dasarnya ”amal” Edison.
Menurut cendikiawan Muslim Ahmad Muflih Saifudin, keyakinan dan sikap meniru saintis Barat itu telah menjebak kaum muslimin kehilangan jati dirinya sebagai Muslim. ”Krisis identitas selanjutnya melanda umat Islam dan ditukar dengan sikap taqiyah. ” (Ahmad Muflih Saifudin, (Ed), Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, 1987).
Ironisnya lagi, krisis identitas ini merambah di kalangan terpelajar dan pemuka agama Islam. Pengertian amal saleh sudah dikacaukan dengan pandangan empirisme, materialisme (kapitalisme maupun sosialisme) dan pandangan keduniawian lainnya. ”Mereka tanpa sadar telah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertian yang parsial dalam praktek hidup bermasyarakat, ” tegasnya.
Pikiran, keyakinan, dan sikap demikian tidak hanya menyesatkan, tapi bertentangan dengan prinsip dan nilai tawhid Islam. Dalam Islam secara tegas dinyatakan, bahwa amal seseorang hanya diterima Allah ketika diawali dengan iman. Karena itu, semua perbuatan yang tidak bermuara dari iman dan kembali untuk iman, secara otomatis tertolak.
”Demi masa. Sesungguhnya semua manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, saling berpesan dalam kebenaran dan dalam kesabaran. ” Tiga rangkaian surah Al-’Ashr ini menegaskan, bahwa amal apapun tidak ada nilainya bila tidak dimulai dengan iman kepada-Nya.
Di tempat lain, surah Al-Mujadilah, Allah menyatakan, ”Allah akan mengangkat beberapa derajat orang yang beriman dan berilmu dari kalian. ” Dengan demikian, derajat seseorang yang diangkat Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak, adalah mereka yang beriman dan berilmu.
Otomatis ’amal baik’ Edison dan kawan-kawan sejenisnya tidak bisa dikategorikan sebagai amal saleh. Sebab, amal perbuatan mereka tidak berlandaskan iman kepada Allah. Inilah yang membedakan amal Mukmin-Muslim dengan amal orang musyrik atau kafir, dan semacamnya.
* * *
Wahyu-Akal: Satu
Dalam Islam, mereka yang dianggap berjasa tidak hanya dilihat dan dinilai dari peran dan hasil karyanya dalam mengeksplorasi alam dan isinya. Penghargaan itu hanya diberikan kepada mereka yang mampu menemukan Yang Maha Benar (Al-Haqq) dalam kegiatannya itu dan bagaimana ia memperjuangkan nilai-nilai Tawhid itu dalam kehidupan.
Sebab, jika asumsi yang dipakai adalah hasil karya Edison, maka jasa dan perjuangan Bilal bin Rabbah, Amar bin Yasir, Fathimah bin Muhammad Saw, Umar dan lainnya seolah tak ada nilainya. Alasannya, secara saintis mereka tidak menemukan apa yang ditemukan Edison.
Bila kita mau bersikap arif dan melongok sejarah peradaban dan ilmu, banyak ilmuan Muslim lahir dan tampil dengan berbagai karyanya tanpa menggunakan temuan Alva Edison. Ibn Sina ketika menulis Al-Qanun fil-Tibb, ia tidak memakai lampu temuan Edison, Al-Ghazali ketika menulis Ihya ’Ulum al-Din dan ratusan karyanya yang lain, ia juga tidak menggunakan lampu desain Edison, demikian pula Ibnu Rusyd, Imam Syafi’i, Imam Malik, al-Khawarizmi dengan rumus kalkulus atau aljabarnya, al-Biruni dengan dengan temuan optiknya, Ibn Khaldun, dan lainnya.
Fakta ini membantah bahwa mereka menjadi ulama agung dan mulia bukan karena karya Thomas Alfa Edison. Mungkin kita, orang mutaakhirin (belakangan)-mungkin juga terbelakang- yang hanya menikmati karya Edison. Ini juga karena kualitas kita tidak sekelas para ulama itu.
” Seorang Muslim adalah seorang rasionalis karena dia menegaskan kesatuaduan antara dua sumber kebenaran (pengetahuan), yaitu, wahyu dan akal, ” tegas Ismail Raji’ al-Faruqi (Ismail Raji’ al-Faruqi, Tawhid: Its Implications for Thougth and Life, 1982).
Dan kita tahu dan sepakat bahwa wahyu dan akal, keduanya, berasal dari Allah Swt. Karena itu mereka yang dinilai berjasa kepada alam adalah mereka yang mampu memadukan keduanya. (dina)